Tampilkan postingan dengan label yusuf wibisono. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label yusuf wibisono. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Mei 2010

MDGs, Islam, dan Kemiskinan di Indonesia - Habis

Riba adalah akar dari semua krisis finansial yang dialami perekonomian modern. Penerapan riba secara inheren mendorong kenaikan uang beredar dalam jangka panjang. Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat dari sektor riil inilah yang mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menciptakan kemiskinan, meningkatkan kesenjangan, dan mengalihkan kedaulatan ekonomi ke tangan para pemilik modal. Karena itu di dalam Islam, modal diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif, bukan spekulatif, melalui kerjasama atau penyertaan modal di sektor riil. Dengan demikian, keseimbangan sektor moneter dan riil dapat terjaga, sehinga inflasi terkendali. Demikianlah Islam mengendalikan inflasi sebagai salah satu tujuan terpenting pembangunan dalam rangka menjaga daya beli masyarakat dan menciptakan stabilitas perekonomian.

Maka menjadi ironis ketika kita melihat BI pontang-panting memertahankan target inflasi karena biaya operasional moneter yang besar dan sistem perbankan ribawi yang tidak sehat. Suku bunga SBI yang terus merangkak naik dan tingkat LDR (loan to deposit rasio) perbankan konvensional yang rendah berperan besar dalam menciptakan tekanan inflasi dan lambatnya pemulihan ekonomi nasional. Maka sudah saatnya BI dan pemerintah memberi perhatian lebih besar pada penerapan sistem finansial Islam untuk sistem moneter yang efisien, tidak bersifat inflatoir, dan berpihak pada pembangunan sektor riil. Kedua, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak (pro-poor budgeting). Islam sangat mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan publik.

Khalifah Umar memperkenalkan penggunaan anggaran negara untuk dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang menderita dengan membentuk sistem diwan pada tahun 20 H yang merupakan sistem jaminan sosial pertama di dunia. Maka menjadi ironis bila kita melihat pengelolaan anggaran negara saat ini yang penuh dengan pemborosan dan korupsi. Penghematan dan penghapusan korupsi dalam anggaran negara, akan memberi sumber dana yang sangat signifikan bagi pembiayaan program pengentasan kemiskinan. Sebagai misal, potensi penghematan anggaran saja diperkirakan mencapai 5-20 persen dari total belanja pemerintah. Pengurangan beban utang juga harus menjadi prioritas terpenting. Usaha-usaha debt-swap hingga penghapusan utang perlu dilakukan pemerintah secara serius.

Ketiga, Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kapasitas dan produktivitas perekonomian. Sebagai misal, Khalifah Umar memerintahkan gubernur Mesir, Amr bin Ash, untuk mempergunakan sepertiga penerimaan Mesir untuk pembangunan jembatan, kanal, dan jaringan air bersih. Islam juga mendorong pembangunan fasilitas pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Nabi Muhammad SAW melakukan ''gerakan melek huruf'' pertama di dunia dengan meminta tebusan bagi tawanan perang dengan mengajarkan baca tulis kepada masyarakat. Khalifah Umar memperkenalkan kepada masyarakat Islam saat itu sistem administrasi dan akuntansi dari Persia dan juga teknik irigasi serta arsitektur dari Romawi.

Maka pembangunan infrastruktur Indonesia semestinya diarahkan pada pembangunan infrastruktur pedesaan dan pesisir di mana sebagian besar orang miskin berada. Seperti dengan pembangunan jalan desa, jaringan listrik, dan air bersih. Ironisnya, fokus pembangunan infrastruktur Indonesia saat ini adalah jalan tol trans-Jawa yang pro orang kaya-kota, boros BBM, tidak ramah lingkungan, dan semakin mendorong konversi lahan pertanian. Demikianlah Islam mendorong pengentasan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, fokus pada sektor riil, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.


Oleh: Yusuf Wibisono

MDGs, Islam, dan Kemiskinan di Indonesia

Pada 3-5 Agustus 2005, Indonesia menjadi tuan rumah Regional Ministerial Meeting on Millenium Development Goals (MDGs) untuk kawasan Asia-Pasifik. Tujuan pertemuan ini adalah untuk merumuskan strategi-strategi nasional dalam mencapai delapan tujuan MDGs pada 2015 di kawasan Asia Pasifik. Kedelapan tujuan MDGs itu adalah menghapus kemiskinan dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita; mengurangi kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi AIDS, malaria dan penyakit lain; memastikan kelangsungan lingkungan; dan mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.

Bagi Indonesia, momentum ini menjadi penting sekaligus sebuah ironi. Karena setelah 60 tahun merdeka, kemiskinan tidak pernah berakhir. Program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, namun kemiskinan tetap terjadi dalam skala yang luas, bahkan dengan derajat yang lebih tinggi. Belum lama kita diguncang oleh wabah polio, kini kita dikejutkan oleh wabah busung lapar. Esok, entah cerita kemiskinan apalagi yang akan terkuak.

Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia kini tersebar luas. Di tahun 2004, BPS memerkirakan jumlah orang miskin 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari total penduduk. Namun angka ini sangat konservatif. Bank Dunia memerkirakan angka kemiskinan hanya 7,4 persen dengan garis kemiskinan satu dolar AS sehari. Namun, jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi dua dolar AS sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4 persen atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini kurang lebih sama dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Lebih jauh lagi, kemiskinan tidak hanya berwajah tunggal, namun juga multidimensi. Indonesia memiliki catatan buruk dalam penyediaan berbagai fasilitas kebutuhan dasar. Indikator-indikator pembangunan sosial lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Angka kematian ibu di Indonesia dua kali lebih tinggi dari Filipina dan lima kali lebih tinggi dari Vietnam. Hampir setengah penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Semua itu mengisyaratkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan gagal.

Disisi lain, Indonesia menghadapi perubahan dan tantangan ke depan yang semakin berat. Di dalam negeri, terjadi arus demokratisasi dan otonomi yang deras. Sedangkan dari luar negeri, arus globalisasi dan perdagangan bebas semakin tidak tertahankan. Tanpa perencanaan yang baik, Indonesia tidak akan mampu mengambil peluang dan mengantisipasi ancaman bagi pengentasan kemiskinan.

Islam dan kemiskinan

Di negeri ini, Islam sering mendapat citra negatif dari kemiskinan. Islam sering dilekatkan dengan kondisi kemiskinan umat-nya, bahkan sering dituding sebagai penyebab kemiskinan. Padahal Islam sebagai sebuah risalah paripurna dan ideologi hidup sangat memerhatikan masalah kemiskinan. Bahkan kemiskinan dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keimanan (QS 2: 268). Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15).

Dalam Islam, kepala keluarga memiliki memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya. Jika tidak mampu, maka kewajiban tersebut jatuh ke kerabat dekat. Jika tidak mampu juga, kewajiban tersebut jatuh ke negara. Dengan demikian Islam mendorong negara mengentaskan kemiskinan dengan cara memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (basic rights approach). Pendekatan inilah yang kini baru mulai diadopsi oleh Indonesia melalui Strategi Nasional Pengentasan Kemiskinan (SNPK). Islam juga memiliki berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program pengentasan kemiskinan. Pertama, Islam melarang riba dan mendorong kegiatan sektor riil untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pro-poor growth).

Selasa, 27 April 2010

ARAH BURAM REVISI UU PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT-DAERAH - Habis

DAU yang ditetapkan dari celah fiskal juga masih mengandung beberapa masalah, walau sudah terdapat perbaikan. Masalah terbesar disini adalah masih belum tersedianya metode untuk mengestimasi “kebutuhan fiskal” daerah. Ketiadaan hal ini membuat “kebutuhan fiskal” kembali diestimasi oleh beberapa variabel yang dianggap relevan yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), PDRB per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tiga variabel pertama adalah sama dengan di UU lama, sementara variabel kemiskinan hilang dan digantikan dua variabel terakhir.

Metode ini –sebagaimana di UU lama- dipastikan tidak akan mampu menangkap secara sempurna kebutuhan setiap daerah. Sebagai misal, kebutuhan daerah yang memiliki garis pantai yang panjang, jelas akan jauh berbeda dari daerah dengan wilayah berupa daratan. Daerah-daerah juga memiliki kebutuhan khas yang memunculkan kebutuhan dana yang berbeda-beda. Daerah-daerah kering misalnya -terlepas dari jumlah penduduk, luas wilayah, dan IKK- membutuhkan dana yang besar untuk penyediaan air bersih baik untuk kebutuhan rumah tangga, industri, maupun jasa.

Hal paling krusial disini adalah bagaimana menutup kebutuhan fiskal yang tidak tertangkap oleh variabel-variabel diatas dan kebutuhan fiskal khas daerah. Hal ini penting agar tujuan pemerataan tercapai. Semua penduduk di setiap daerah harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur, perlindungan lingkungan, keamanan, dsb. Disini peranan DAK menjadi sangat penting, terlebih dengan telah dihapuskannya Dana Darurat oleh UU baru ini. Terobosan penting dalam UU baru ini adalah memperkenalkan sistem selektif untuk DAK (pasal 40) dimana penerima DAK diutamakan untuk daerah dengan kemampuan fiskal yang rendah. Sayangnya masih belum ada aturan tegas tentang penggunaan DAK sebagai instrument untuk mempromosikan prioritas nasional di tingkat lokal. Lebih disayangkan lagi, belum ada ketentuan jumlah minimum DAK sebagaimana halnya DAU. Tanpa ketentuan ini dikhawatirkan jumlah DAK akan sangat minimal seperti yang selama ini berjalan.

Perbaikan paling berarti dalam hal DAU dicapai dengan dieliminirnya masalah “hold harmless condition” dalam alokasi DAU. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 32, bahkan daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dimungkinkan tidak menerima DAU sama sekali. Masalah terbesar disini adalah bagaimana mempertahankan konsistensi aturan ini dalam implementasinya. Sebagaimana kita ketahui, tekanan dari daerah-daerah kaya adalah sangat besar sehingga di masa lalu pemerintah tidak berdaya meski hanya untuk sedikit mengurangi DAU daerah-daerah kaya ini walau mereka memiliki kapasitas fiskal yang sangat tinggi. Sudah terlalu sering kita melihat kebijakan-kebijakan ambisius luntur oleh kontradiksi dan lemahnya implementasi kebijakan.

Hal ini harus benar-benar diperhatikan mengingat nyaris tidak ada perubahan yang berarti dalam alokasi dana bagi hasil. Dana bagi hasil, terutama dari SDA, masih akan berperan besar dalam menciptakan kesenjangan horizontal antar daerah. Kegagalan dalam menurunkan DAU daerah kaya harus dibayar oleh turunnya kesejahteraan penduduk daerah miskin dan melebarnya kesenjangan antara daerah kaya dan miskin.

Keempat, UU baru ini masih belum secara tegas mengatur alokasi dana dekonsentrasi. Hal ini dikhawatirkan akan semakin memperkokoh eksistensi dana dekonsentrasi sebagai “wilayah abu-abu”. Dalam tahun-tahun terakhir ini tiga kementrian besar yaitu pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, mengelola dana dekonstrasi dalam jumlah yang berlimpah. Secara aturan, dana ini didekonsentrasikan ke provinsi, untuk kemudian dilimpahkan kembali ke daerah. Pada prakteknya, dana ini digunakan untuk membiayai investasi-investasi tanpa ada kriteria-kriteria yang jelas. Alokasi dana ini ke daerah-daerah juga seringkali tidak transparan. Tujuan utama dana dekonsentrasi yaitu untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik yang bersifat lintas wilayah yurisdiksi, seringkali menjadi tidak tercapai.

Jelas terlihat bahwa revisi UU perimbangan keuangan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. UU baru masih belum mampu menjawab secara sempurna tentang bagaimana dana yang terbatas di distribusikan secara bijaksana antar daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, menyediakan infrastruktur, dan melindungi lingkungan. Masih dibutuhkan usaha yang keras untuk mewujudkan pemerataan antar daerah dan standar hidup penduduk dimanapun mereka tinggal.


Oleh: Yusuf Wibisono

ARAH BURAM REVISI UU PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT-DAERAH

Indonesia kini memiliki UU otonomi daerah yang baru seiring dengan disetujuinya RUU tentang Perubahan atas UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah oleh DPR pada akhir September lalu. Kedua UU perubahan atas UU otonomi daerah yang lama ini, selain memberikan pengaturan yang lebih terinci dan tegas tentang otonomi daerah, desentralisasi, penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyelenggaraan keuangan daerah, juga telah mencapai kemajuan-kemajuan yang cukup berarti.

UU baru tentang pemerintahan daerah misalnya, telah mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung. UU ini juga mengakomodasi calon independen meski tetap harus melalui mekanisme parpol dimana parpol atau gabungan parpol diwajibkan menerima bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat dan memproses serta menetapkan sebagai pasangan calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Namun, berbeda dengan perubahan UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah, perubahan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah adalah tidak signifikan. Meski terdapat sejumlah perbaikan, namun perubahan terhadap UU No. 25/1999 tidak seperti yang diharapkan banyak pihak. Mengingat fungsinya yang sangat sentral dalam mendukung keberhasilan otonomi daerah, hal ini tentu mencemaskan.

Secara umum ketidakpuasan terhadap UU baru tentang perimbangan keuangan pusat-daerah ini bersumber pada empat hal. Pertama, banyak perubahan yang tidak perlu karena substansi yang dibahas sebenarnya telah diatur oleh UU terkait seperti UU no. 17/2003 tentang keuangan negara, UU no. 1/2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU no. 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung Jawab keuangan negara.

Sebagai misal, UU baru memberi hak kepada pemerintah pusat untuk mengenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran dana perimbangan jika daerah melanggar kriteria dan batas maksimal defisit APBD (pasal 83). Hal ini tidak memberi hukuman pada pejabat yang melanggar hukum, dan hanya menyengsarakan penduduk daerah bersangkutan karena tertahannya dana perimbangan. Selain itu sudah terdapat sanksi yang lebih tegas dalam UU No. 17/2003 bab IX termasuk mengganti dana yang hilang, denda, dan penjara bagi pejabat yang menyalahgunakan dana publik.

UU revisi ini juga mengatur masalah pinjaman daerah secara cukup mendalam di bab VIII yang terdiri dari 17 pasal. Hal ini sebenarnya kurang tepat mengingat UU ini lebih mengatur masalah desentralisasi fiskal, bukan pengelolaan keuangan daerah.

Kedua, masih belum ada perluasan local taxing power yang memadai bagi daerah. Hal ini dapat mengancam efektifitas pelayanan jasa public terutama di daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah. Walau demikian terdapat kemajuan dimana keleluasaan daerah untuk menciptakan pajak dan retribusi daerah, diikuti pelarangan bagi daerah untuk menciptakan perda yang menciptakan ekonomi biaya dan perda yang menghambat mobilitas orang dan barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor/impor. Sayangnya, pelarangan ini tidak diikuti dengan formalisasi proses regulatory review yang memadai untuk menjamin daerah tidak menciptakan perda-perda bermasalah. Tanpa institusionalisasi regulatory review yang efektif, pelarangan ini hanya akan menjadi macan ompong seperti yang selama empat tahun terakhir ini terjadi.

Ketiga, formula DAU –yang merupakan komponen terbesar pada mayoritas anggaran daerah- tidak mengalami banyak perubahan. Formula baru DAU cukup bijaksana dengan hanya menaikkan jumlah DAU dari 25% menjadi 26% dari pendapatan dalam negeri netto. Namun sayangnya hal ini belum diimbangi dengan ketentuan yang dapat mengurangi potensi instabilitas makro pemerintah pusat agar daerah mau berbagi beban pengeluaran jika beban pengeluaran pemerintah pusat meningkat secara drastis seperti akibat beban utang atau yang kini terjadi karena kenaikan harga minyak dunia.

Ketidakpuasan lainnya bersumber dari bagian DAU daerah yang ditetapkan berdasarkan celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi dasar. Elemen transisional berupa alokasi dasar ini semestinya harus semakin ditinggalkan, bukannya justru diformalkan. Hal ini bahkan lebih buruk dari pengaturan di UU lama dan akan semakin menjauhkan DAU sebagai mekanisme ekualisasi fiskal horizontal antar daerah. Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan jumlah gaji PNS daerah, akan mereduksi disiplin fiskal daerah dan secara jelas akan menghilangkan inisiatif reformasi birokrasi di tingkat lokal. Hal ini juga akan memberi insentif bagi daerah untuk terus melakukan pemekaran-pemekaran daerah baru, bukannya bergabung untuk menciptakan economies of scale dengan berbagi fasilitas dan operasi birokrasi.


(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Senin, 26 April 2010

MENDIDIK PASAR - Habis

Heboh maraknya peredaran buku-buku Anand Krishna beberapa waktu lalu, juga sebenarnya bisa ditelusuri sebagai upaya untuk mendidik pasar -yang mayoritas muslim ini- agar bisa menerima persepsi bahwa semua agama adalah sama, sehingga pencampur adukan ajaran berbagai agama adalah sah-sah saja. Maraknya peredaran buku-buku berbau marxis juga bisa ditengarai sebagai usaha mendidik pasar, mengingat sebenarnya buku-buku seperti ini terbatas sekali permintaannya, sehingga semestinya peredarannya-pun terbatas pula.

Dengan menggunakan perspektif yang sama, alih-alih mengeluh, sebenarnya para wirausahawan muslim juga bisa melakukan strategi yang sama untuk merebut pasar. Sebagai negeri muslim terbesar di dunia dengan 210 juta penduduk, Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan untuk produk-produk yang sesuai syariat ataupun produk yang mendukung kehidupan beragama seseorang. Apalagi saat sekarang ini dimana kesadaran ber-Islam mulai marak, jelas ini adalah waktu yang tepat untuk masuk dan mulai mendidik pasar agar beralih ke produk-produk sesuai syariat.

Beberapa pengusaha muslim dengan cerdas telah menangkap peluang ini dan mulai mendidik pasar. Shafira di bisnis busana muslim, Wardah di bisnis kosmetik, Sabili di bisnis media cetak, adalah segelintir contoh mereka yang telah membidik dan mulai mendidik pasar muslim bahwa mereka "butuh" akan produk-produk sesuai syariat. Walau dengan anggaran iklan yang minim dan media komunikasi yang terbatas, ternyata tanggapan pasar cukup bagus. Produk-produk diatas cukup mampu bersaing dengan produk-produk lama. Ini adalah bukti bahwa sebenarnya mendidik pasar Indonesia agar merasa "butuh" dengan produk-produk sesuai syariah tidaklah sesulit seperti yang dibayangkan sebelumnya.

Apabila seorang produsen mampu mendidik pasar secara sukses di satu kategori bisnis saja, ini telah akan menjadi pasar yang sangat besar. Ambil contoh, bila misalnya pasar telah berhasil "dididik" agar mereka hanya mau mengkonsumsi makanan yang halal saja, saya tak bisa membayangkan betapa banyak dan besar peluang yang bisa diambil oleh para pengusaha muslim dari bisnis makanan halal ini saja.

Namun harus diakui, mendidik pasar juga tidaklah mudah. Walaupun telah mendapat bantuan yang sangat besar dari para dai dan juru dakwah dalam membangkitkan kesadaran ber-Islam konsumen Indonesia (dan untuk ini pengusaha muslim harusnya berterima kasih dengan wujud kongkrit mendukung semua usaha para dai dalam menegakkan dakwah), namun para pengusaha muslim tetap harus berusaha dan berjuang keras agar produknya laku di pasaran. Kenapa mendidik pasar tidak mudah? Karena mendidik pasar berarti adalah bahwa kita ingin membuat konsumen belajar melakukan pola konsumsi yang benar-benar baru secara keseluruhan dalam rangka menggunakan produk kita itu. Bila kita ingin mendidik pasar agar hanya mengkonsumsi makanan halal, maka kita harus membuat konsumen terlebih dahulu belajar pola makan yang Islami, mulai dari sumber asal bahan makanan, proses pengolahannya, cara memasak, sampai etika penyajian dan menyantap hidangan. Untuk membuat konsumen sampai pada pemahaman dan penghayatan seperti ini, tentu tidaklah mudah. Ketidakmauan -atau keacuhan- konsumen untuk mempelajari perilaku baru, akan menghambat penerimaan dan penjualan suatu produk baru.

Maka, usaha pemasaran untuk inovasi-inovasi insidental seperti ini, yang dibutuhkan tidak hanya membuat konsumen kenal dengan produk kita (consumer awareness) saja, tetapi juga mendidik konsumen tentang keuntungan dan ketepat-gunaan produk inovatif kita tersebut. Dengan mengetahui manfaat produk, konsumen akan maju selangkah dari hanya mengenal menjadi punya persepsi bahwa produk kita memiliki kualitas yang baik (perceived quality), sampai akhirnya menjadi konsumen yang loyal.

Karena itulah maka, penjualan secara personal (personal selling) dan iklan-iklan yang kreatif sangat dibutuhkan untuk mencapai tingkat pendidikan konsumen yang seperti ini. Sebuah usaha pemasaran yang memang mahal dan butuh waktu yang tidak singkat.


Oleh: Yusuf Wibisono

MENDIDIK PASAR

Buat anda yang angkatan '70an, mungkin masih ingat ketika Aqua pertama kali di lempar ke pasar. Dan tentunya anda ingat pula betapa negatif-nya respon pasar saat itu ketika pionir air minum dalam kemasan ini diperkenalkan ke publik. Gila apa jualan air putih? Mahal lagi? Mana ada ceritanya air putih lebih mahal dari bensin? Padahal dimana-mana kita bisa mendapatkan air putih dengan mudah dan murah, bahkan gratisan. Lalu, siapa yang mau beli ini barang?

Tapi itulah yang terjadi. Aqua dijual oleh sang produsen ke sebuah masyarakat dimana air minum (air putih) adalah barang bebas (gratisan) dan harga barang-barang kebutuhan hidup lainnya adalah murah karena subsidi (seperti beras dan BBM). Namun sang produsen tetap yakin dengan konsep bisnis-nya bahwa masyarakat butuh akan air minum yang higinis dan dikemas secara praktis sehingga mudah dibawa-bawa dan digunakan kapanpun dan dimanapun. Hanya dengan modal keyakinan akan konsep bisnis itulah yang membuat PT Golden Aqua Missisipi nekat untuk terus menekuni bisnis air minum dalam kemasan ini. Secara perlahan, lewat iklan dan komunikasi yang massif, akhirnya pemahaman konsumen terhadap produk ini terbentuk. Dan kini? Mungkin tak seorangpun penduduk negeri ini yang tidak kenal dengan Aqua. Dan pada saat yang sama puluhan merek lainnya berlomba masuk ke pasar air minum kemasan ini, mencoba bersaing dengan Aqua untuk merebut pasar yang kini menjadi sangat gemuk.

Cerita yang sama kita temui pula pada kasus Teh dalam kemasan botol dengan pionirnya Sosro, Kopi dalam bentuk permen dengan pionirnya Kopiko, Larutan penyegar -yang menurut saya enggak ada bedanya sama air putih- dengan pionirnya Kaki Tiga, dan contoh terkini tentunya adalah Nasi goreng cepat saji dengan pionirnya Tara nasiku. Mereka semua adalah produk-produk yang sebenarnya kita "enggak butuh". Tetapi karena sekian lama kita "dididik" bahwa kita "butuh" produk tersebut, akhirnya kitapun mengatakan hal yang sama. Ringkasnya, konsumen bisa disetir dan diarahkan agar menuruti kemauan produsen.

Fakta ini mematahkan argumen bahwa produk yang dibeli/dikonsumsi oleh konsumen adalah selalu barang yang mereka inginkan atau butuhkan. Konsumen bisa dididik bahwa mereka sebenarnya butuh akan suatu produk tertentu. Dan fenomena "mendidik pasar" ini juga sebenarnya bisa menjawab seluruh pertanyaan dan kegundahan kita tentang membanjirnya berbagai produk asing dan produk budaya global di tanah air kita ini.

Laris manisnya berbagai produk-produk kosmetik dan perawatan kecantikan dari pemutih gigi sampai pemutih kulit, tidak lepas dari rajinnya para produsen "mendidik" remaja putri kita bahwa kecantikan fisik adalah yang terpenting, tidak peduli dengan kecantikan hati ataupun kecerdasan intelektual. Betapa banyak kita saksikan para korban "salah didik" ini begitu bangga dan royal ketika membeli produk-produk yang tidak murah ini di berbagai pusat perbelanjaan. Jelas "pendidikan" semacam ini akan memperbodoh dan menghancurkan akhlak generasi muda kita di masa mendatang.

Dan repotnya adalah, strategi ini ternyata juga dilakukan (dan nampaknya dengan penuh kesengajaan) terhadap produk-produk budaya dan ideologis di negeri Muslim terbesar di dunia ini, bahkan secara besar-besaran. Mewabahnya musik dan lagu Barat dari apartemen mewah hingga ke kampung-kampung, jelas tidak mungkin terjadi tanpa “didikan” MTV yang berkolaborasi dengan Global TV, yang begitu gencar 24 jam non-stop setiap harinya menyiarkan klip-klip musik. Begitupun halnya dengan tingginya minat remaja kita untuk masuk ke bisnis entertainment ini, adalah hasil "didikan" selama puluhan tahun bahwa dunia showbiz adalah dunia paling tepat untuk cepat menjadi kaya, terkenal, dan digandrungi banyak orang. Bahkan wabah ini juga sudah menular ke anak-anak yang (seharusnya) masih suci, yang ironisnya justru tertular virus dari orang tuanya sendiri yang merupakan para korban "salah didik".

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Selasa, 20 April 2010

PETA BISNIS SAAT INI - Habis

Jadi, bila kini anda adalah pengusaha kelas kampung, tingkatkanlah terus kualitas produk dan pelayanan perusahaan anda hingga sama dengan dengan pemain kelas kota. Bila kini perusahaan anda adalah jawara di daerah, perbaikilah terus perusahaan anda agar sejajar dengan pemain nasional, bahkan dengan pemain regional dan internasional sekalipun. Dan anda tidak harus memiliki modal milyaran rupiah untuk bisa menandingi perusahaan-perusahaan raksasa itu. Yang terpenting adalah spirit untuk selalu memberi yang terbaik untuk customers itulah yang harus anda miliki. Bukankah konsumen akan memberi nilai tambah yang luar biasa jika warung bakso Bang Miun anda mampu memberikan servis yang setara dengan resto sekelas McDonalds?

Variabel lain yang kini menjadi amat penting adalah speed (kecepatan). Konsekuensi logis dari tingginya tingkat persaingan adalah semakin pentingnya peranan speed bagi pengusaha dalam mengambil peluang-peluang bisnis. Kecepatan menjadi kunci kesuksesan sebuah usaha karena ia memberi sang first mover (pemain pertama) berbagai keuntungan-keuntungan seperti preemptive right (hak "milik" atas suatu kategori bisnis karena pesaing tidak mampu/kesulitan untuk meniru sang pemain pertama), brand awareness (pengenalan publik atas suatu merek), dan repeated customer experience (fenomena konsumen yang selalu memilih produsen yang sudah mereka kenal), yang kesemuanya itu membuat pemain baru sulit untuk bersaing dengan pemain pertama. Contoh yang bagus untuk ini adalah Bimbingan Belajar Nurul Fikri (NF). NF adalah pemain pertama pada kategori bimbingan belajar Islami di kawasan Jabotabek khususnya, yang pertama kali muncul pada pertengahan 1980an. Karena menjadi yang pertama, merek yang pertama kali diingat publik di kategori ini adalah NF. Dengan itu pula NF menikmati repeated customer experience sehingga terus berkembang pesat. Kini sulit bagi kita untuk mengingat bimbingan belajar yang islami di Jabotabek tanpa mengingat NF. NF seolah telah memiliki hak "milik" atas kategori bisnis ini. Itulah mengapa sulit sekali bagi pemain-pemain baru yang mencoba masuk ke kategori bisnis ini (dengan kemampuan yang sama bahkan lebih dari NF) untuk bersaing dengan NF, walau kehadiran mereka hanya berselang beberapa tahun saja.

Dan kini masalah speed itu menjadi semakin krusial. Perbedaan waktu yang singkat dapat memberi hasil yang sangat berbeda. Hitungan waktunya-pun kini semakin cepat, tidak lagi dalam hitungan tahun atau bulan, tapi sudah hitungan minggu dan hari, bahkan jam! Para pebisnis kini dituntut memiliki intuisi yang tajam untuk secara cepat dan tepat memutuskan deal-deal bisnis. Bisnis dotcom adalah contoh terkini dimana peranan speed sangat penting. Transaksi dan kesepakatan bisnis di dunia dotcom ini seringkali terjadi dalam tempo yang sangat cepat. Beberapa di antaranya bahkan dilakukan dalam hitungan jam dan ditandatangani oleh kedua belah pihak melalui surat elektronik! Setelah 6,5 jam Tom Guilfoile -CEO Lycos- menelpon bahwa dia akan terlambat pulang, dia menyatakan pada isterinya : "Sejak terakhir kali saya berbicara kepadamu, kita telah membeli 10% dari sebuah perusahaan".

Hukum yang berlaku kini adalah "siapa cepat dia dapat". Tentu saja bukan berarti kita harus berlaku sradak-sruduk. Perhitungan bisnis yang baik dan matang tetap penting dan tetap menjadi kunci sukses bagi sebuah bisnis, kapanpun dan dimanapun juga. Namun kini perhitungan-perhitungan bisnis itu harus diputuskan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain, kemampuan dan intuisi bisnis anda harus semakin baik dan harus terus diasah. Tidak bisa lagi kini bisnis dijalankan dengan santai tanpa konsep yang baik dan dengan manajemen yang amburadul. Nah, jadi bila sekarang di kepala anda sudah ada konsep bisnis yang anda yakini bagus, segeralah realisasikan. Lakukan sekarang juga! Jangan menunggu hingga ada pemain lain yang masuk mendahului anda.

Inilah peta bisnis saat ini, penuh kejutan dan penuh tantangan. Untuk bisa sukses dan bertahan di pasar, di kategori bisnis apapun anda berminat dan berada, hanya ada dua resep ampuh yang perlu anda miliki; jadilah yang tercepat dan jadilah yang terbaik !

Selamat berbisnis !


Oleh: Yusuf Wibisono

PETA BISNIS SAAT INI

Dunia bisnis kini benar-benar berbeda bahkan dari keadaan yang hanya beberapa tahun lalu saja. Dunia kini mengalami kemajuan luar biasa, yang utamanya dipicu oleh kemajuan dalam teknologi informasi dan internet. Revolusi digital ini nyaris merubah seluruh aspek kehidupan di masa ini. Gary Hamel menyebutnya sebagai the age of revolution, era dimana perubahan adalah radikal dan terjadi secara mengejutkan. Ia bisa muncul dari mana saja dan kapan saja. Kesempatan datang dan pergi dalam kecepatan cahaya, yang membuat sang pengekor tak akan pernah dapat mengejar sang innovator. Sekarang ini adalah era dimana dunia selalu dirusak oleh ide-ide kreatif dan segar sebelum ide-ide lama established. Ini adalah a world of punctuated equilibrium, dunia yang selalu diinterupsi dan tak pernah mencapai keseimbangan!

Kita-pun bisa melacak pula perubahan-perubahan besar dalam bidang lainnya. Di bidang sosial, muncul gerakan kembali ke alam dan gaya hidup yang lebih sehat. Perlindungan terhadap lingkungan-pun menjadi sangat menonjol kini. Di bidang ekonomi-politik, trend globalisasi perdagangan dan integrasi ekonomi terlihat semakin tak terbendung. Belum lagi bila kita mendata perubahan yang terjadi di tingkat nasional dan lokal, tentu akan lebih banyak lagi.

Dan semua perubahan-perubahan besar ini telah merubah peta bisnis di banyak industri, bahkan dengan cara amat radikal. Runtuhnya Britannica pada akhir 1990an -ensiklopedi tertua dan terlengkap, pemegang otoritas dalam bidangnya selama ratusan tahun dan secara luas digunakan di seluruh dunia- oleh Encarta -eksiklopedi berbentuk CD-ROM yang praktis dan dijual sangat murah- adalah contoh ekstrim bahwa bisnis ratusan tahun sekalipun yang sangat stabil dan begitu fokus dapat bangkrut seketika oleh perubahan yang sangat cepat dan mengejutkan.

Singkatnya, bahwa kini situasi persaingan sudah menjadi sangat kerasnya, tidak dapat diduga, liar, dan mengejutkan. Tak ada satupun perusahaan, sebesar apapun, yang berani mengklaim bahwa esok mereka masih menjadi yang nomor satu, bahkan hanya untuk sekedar bertahan hidup sekalipun.

Mungkin anda akan segera menyela pembicaraan saya ini dengan "ah, itu sih terlalu jauh buat kita-kita di sini", "ah, saya mah cuma pengusaha kecil" dan puluhan bahkan ratusan "ah-ah" lainnya. Mungkin anda benar. Tapi justru karena itulah kita harus bersiap. Kalau yang besar saja bisa tergilas dengan mudahnya, apalagi yang kecil. Saya ingin mengingatkan, bahwa kini dan di masa depan, persaingan tidak akan pernah menjadi lembut. Persaingan yang keras bahkan liar, akan menjadi kata yang benar-benar tidak terelakkan. Mau tak mau, suka tak suka, kita akan berhadapan dengan realitas itu. Dan persaingan yang sudah begitu keras seperti ini masih harus ditambah lagi oleh kompetisi global yang sebentar lagi benar-benar akan datang dengan dibukanya perdagangan bebas pada saat AFTA dan APEC berlaku efektif.

Kata kunci disini adalah, jangan pernah puas dengan perkembangan bisnis anda saat ini. Anda tidak akan pernah bisa menjamin bisnis anda akan langgeng selama anda tidak pernah berfikir untuk selalu menjadi yang terdepan. Teruslah berusaha memberikan yang terbaik dan lebih baik lagi untuk customer anda dengan melakukan perbaikan dan inovasi tiada henti. Jangan pernah puas untuk selalu memberi value yang lebih bagi customer. Kenapa? Sebab jika tidak demikian, maka akan ada pemain lain yang melakukannya. Apakah jika Thomas Alfa Edison tidak menemukan lampu listrik maka dunia akan terus gelap hingga kini? Tidak ! Jika Thomas Edison tidak menemukan inovasi lampu listrik, maka akan ada orang lain yang melakukan hal itu ! Jadi, yakinlah bahwa customers akan selalu dilayani dengan lebih baik dan mereka tahu akan hal itu. Tinggal kini soalnya adalah, siapa yang akan melakukan hal itu? Anda atau orang lain? Konsumen akan melihat dan menilai siapa yang terbaik dan yang terbaik itulah yang akan mereka pilih.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Senin, 19 April 2010

PEMULIHAN EKONOMI PASCA TRAGEDI BALI - Habis

Ketiga, orientasi ekspor. Periode pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an adalah masa kejayaan Indonesia menjadikan ekspor sebagai mesin pertumbuhan. Melalui serangkaian deregulasi di sektor riil non-migas pada pertengahan 1980-an, Indonesia berhasil bangkit dari kelesuan ekspor setelah jatuhnya harga minyak dunia. Pada periode 1986-1989, pertumbuhan banyak ditopang oleh ekspor non-migas yang berlipat dua dari US$ 6 miliar pada 1986 menjadi lebih dari US$ 13 miliar pada 1989. Masa keemasan ekspor terjadi pada periode 1990-1997, dimana ekspor rata-rata tumbuh 11% per tahun. Kunci sukses pertumbuhan ini, kini tidak lagi kita miliki. Ekspor tahun 2001 turun 11% dari tahun sebelumnya. Dan kecenderungan penurunan ekspor ini nampak terus berlanjut di tahun ini. Ekspor tujuh bulan pertama 2002 turun 5,24 % dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini tidak bisa dianggap sepele mengingat penurunan ini justru dialami oleh komoditi ekspor andalan Indonesia seperti garmen dan kayu. Fenomena relokasi industri yang mulai marak pada awal 2001 saat di mulainya otonomi daerah, kini mulai menampakkan hasilnya. Dan proses divestasi penanaman modal asing terus memperlihatkan peningkatan dari US$ 356 juta di tahun 1998 menjadi US$ 5,8 milyar di tahun 2001. Bahkan pada kuartal I 2002 ini angka itu sudah bertengger pada US$ 2,3 milyar. Tidak ada alternatif lain bagi pemerintah kini selain mulai memperhatikan keluhan-keluhan investor asing dan mencarikan jalan keluarnya.

Keempat, sektor finansial yang stabil. Peran intermediasi sektor finansial sangat penting bagi perkembangan sektor riil. Peran intermediasi ini akan berjalan baik selama sektor finansial stabil. Kestabilan sektor finansial selama masa orde baru lebih dikarenakan masih rendahnya derajat liberalisasi sektor finansial. Dan ketika Indonesia meliberalisasi sistem finansial-nya pada 1990-an, kestabilan sektor finansial mulai terusik dan berakhir pada krisis finansial 1997. Agenda terpenting disini adalah masalah supervisi. Derajat liberalisasi yang tinggi membutuhkan supervisi yang tinggi pula. Peranan Bank Indonesia yang efektif sangat diperlukan disini. Selain itu penyehatan sistem perbankan harus dilakukan dengan cepat serta efektif dan efisien. Kehancuran sistem perbankan nasional nyaris membuat sektor riil tidak bisa bergerak. Buruknya kinerja BPPN ditengarai sebagai penyebab lambatnya penyehatan perbankan nasional. Alih-alih menjadi sehat dan melakukan fungsi intermediasi, bahkan bank-bank yang berada dibawah BPPN itu justru menjadi semakin tidak sehat. Implikasinya, bisa jadi pemerintah harus bersiap-siap melakukan rekapitalisasi jilid III.

Kelima, pertumbuhan regional. Dengan dukungan oil bonanza dan capital inflow, telah terjadi investasi yang masif dalam transportasi, infrastruktur, dan telekomunikasi di daerah-daerah pada masa orde baru. Hal ini secara nyata telah mendorong pertumbuhan daerah. Kini, pertumbuhan regional itu mengalami perlambatan. Pertama akibat krisis yang belum pulih. Dan kedua akibat pelaksanaan otonomi yang berlebihan. Munculnya perda-perda bermasalah misalnya, secara nyata telah mengganggu iklim usaha, membuat investasi tertahan, skala usaha tidak berkembang, kesempatan kerja tidak meningkat, dan pada gilirannya mengganggu pertumbuhan.


Tantangan ke Depan

Ada beberapa tantangan ke depan yang harus dijawab segera oleh pemerintah jika tidak ingin perekonomian menjadi semakin buruk. Pertama, pemulihan keamanan. Pasca tragedi Bali, citra keamanan Indonesia bisa dipastikan akan semakin turun. Ini adalah tantangan terbesar pemerintah yang bersifat darurat. Karenanya harus ditempuh langkah-langkah yang drastis namun tetap bervisi untuk masalah pemulihan kemanan ini.

Kedua, daya saing internasional. Kinerja ekspor yang semakin memburuk adalah tanda yang sangat jelas betapa daya saing produk Indonesia di pasaran internasional semakin turun. Dari sisi internal, lemahnya daya saing komoditas domestik dipicu oleh banyaknya pungutan-pungutan, kenaikan upah buruh, kenaikan BBM dan listrik, serta infrastruktur yang semakin rendah kualitasnya. Dari sisi eksternal, turunnya daya saing Indonesia disebabkan munculnya pemain-pemain baru yang sangat efisien produksinya. China misalnya, tidak hanya mengalahkan Indonesia di pasaran internasional saja bahkan juga di pasar domestik. Daya saing China yang sangat tinggi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh tiga faktor yaitu; kombinasi kepadatan penduduk yang sangat tinggi dengan tingkat upah yang rendah, mobilitas faktor produksi yang tinggi, serta penghapusan berbagai tarif terutama untuk bahan baku impor.

Ketiga, otonomi daerah. Bagi unit-unit ekonomi yang penting bukanlah ada desentralisasi atau tidak, tetapi apakah desentralisasi dapat menurunkan biaya transaksi. Indikasi awal menunjukkan bahwa biaya transaksi meningkat setelah desentralisasi diluncurkan. Maka tanpa adanya kejelasan desain, otonomi daerah hanya menghambat pemulihan ekonomi.

Keempat, investasi infrastruktur. Dari segi kuantitas, pertumbuhan infrastruktur Indonesia kini berada pada tingkat dimana ia sudah tidak mampu lagi menunjang pertumbuhan ekonomi yang lestari. Sedangkan dari sisi kualitas, kondisi infrastruktur Indonesia sudah berada pada tahapan dimana ia sudah tidak mampu menunjang proses produksi yang efisien. Pertumbuhan ekspor misalnya, tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi dunia tetapi juga soal-soal di sisi penawaran, seperti persoalan infrastruktur. Kendala infrastruktur akan menghambat proses produksi sehingga akan terjadi kenaikan harga relatif komoditi ekspor. Implikasinya ekspor akan menurun karena hilangnya daya kompetisi yang pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.


Oleh: Yusuf Wibisono

PEMULIHAN EKONOMI PASCA TRAGEDI BALI

Tragedi Bom di Bali beberapa waktu lalu menyisakan satu pertanyaan besar, apakah masih ada harapan bagi pemulihan ekonomi Indonesia? Tanpa tragedi Bali-pun, kinerja perekonomian Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Setelah berlalu lima tahun sejak di terpa badai krisis 1997, pemulihan ekonomi Indonesia nampak hanya jalan di tempat. Walau pertumbuhan ekonomi telah positif dan lebih baik dari kebanyakan negara tetangga, hal itu terjadi lebih karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga domestik, bukan karena kinerja pemerintah dalam memacu pertumbuhan investasi dan ekspor. Jika sekalipun pemerintah tidur saja, perekonomian tetap akan tumbuh oleh konsumsi domestik tersebut. Berbagai program penyesuaian dan struktural yang dilakukan atas rekomendasi IMF, tidak memperlihatkan hasil yang signifikan selain utang pemerintah yang semakin membengkak dan jatuhnya berbagai BUMN strategis ke tangan asing. Bahkan beberapa indikator terakhir justru mengindikasikan bahwa keadaan telah menjadi semakin buruk!

Data terakhir yang dikeluarkan oleh BKPM menunjukkan bahwa persetujuan investasi asing untuk delapan bulan pertama 2002 adalah US$ 3,55 milyar, turun 40 % dari US$ 5,79 milyar untuk periode yang sama pada 2001. Dan fakta ini akan menjadi lebih memprihatinkan bila melihat bahwa hanya sebagian kecil saja dari investasi asing yang disetujui itu yang telah di-realisasi. Buruknya kinerja Indonesia ini seolah mendapat pengesahan dengan di rilis-nya laporan UNCTAD dalam World Investment Report 2002 pada bulan September lalu, yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-3 terbawah di antara seluruh negara di dunia dalam hal menarik investor asing.

Semua fakta-fakta empiris ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita adalah ringkih. Terlebih lagi kini setelah kita dihadapkan pada Tragedi Bali, hampir bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin mengalami perlambatan. Lalu, kapan negeri ini bisa bangkit dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan lepas dari campur tangan IMF? Untuk ini, kita perlu melacak sumber-sumber pertumbuhan.


Sumber-Sumber Pertumbuhan

Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan lestari selama hampir tiga dekade sehingga pernah di juluki oleh World Bank (1993) sebagai “one of the shining ligths of the international economy”. Ada beberapa hal yang menjadi kunci pertumbuhan tersebut. Pertama, investasi pemerintah yang tinggi. Dengan didukung oleh pendapatan minyak dan lembaga donor internasional, Indonesia mampu mencatat pertumbuhan investasi yang mengesankan, terutama pada masa awal pembangunan. Namun kini, sumber-sumber investasi pemerintah nyaris kering semuanya. Jangankan untuk melakukan ekspansi fiskal, hanya untuk mempertahankan kesinambungan fiskal saja pemerintah sudah hampir kehabisan nafas. Dalam RAPBN 2003, hal ini jelas terlihat. Agenda paling mendesak untuk hal ini adalah pengurangan stok utang pemerintah yang menggunung, bukan sekedar rescheduling.

Kedua, iklim usaha yang “fair” dan predictable. Selama masa orde baru, investasi swasta baik asing maupun swasta berhasil digenjot naik oleh adanya kepastian dalam berusaha. Walaupun birokrasi orde baru penuh dengan jelaga KKN di setiap lini-nya, tetapi investor mendapat kepastian bahwa kontrak bisnis yang ditanda-tangani akan terlaksana. Ketika mereka membayar “suap” mereka pasti mendapatkan proyek yang mereka inginkan. Walaupun kotor, tetapi iklim usaha relatif “fair” dan karenanya menjadi predictable. Kepastian berusaha inilah yang menjadi kunci utama derasnya investasi asing pada masa itu. Hal ini jauh berbeda dengan sekarang. Dengan kualitas KKN yang sama -bahkan lebih tinggi-, kepastian usaha justru semakin buruk. Sikap pemerintah yang tidak tegas dalam masalah contract enforcement -seperti pada kasus Manulife misalnya- telah memicu ketidak-percayaan investor. Implementasi otonomi daerah yang menciptakan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, juga ikut memberi kontribusi yang tidak kecil pada ketidakpastian usaha. Ketidak-jelasan pemegang kewenangan, telah membingungkan investor. Walaupun mereka telah membayar suap bahkan dengan rantai birokrasi yang lebih panjang, tetapi izin usaha tetap tidak mereka peroleh. Maka selama tidak ada kejelasan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, otonomi hanya akan memperbesar ketidakpastian hukum dan menahan investor asing untuk masuk.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Kamis, 15 April 2010

BPK DAN AKUNTABILITAS ANGGARAN PUBLIK - Habis

Dalam hal ini, perlu juga ditegaskan tentang peleburan BPKP ke dalam BPK. Keberadaan BPKP selama ini telah menimbulkan duplikasi fungsi terutama antara BPKP dan BPK serta antara BPKP dan Inspektorat Jenderal. Peleburan BPKP ke dalam BPK selain akan menghilangkan duplikasi dan inefisiensi dalam pemeriksaan, juga akan memperkuat jajaran BPK yang selama ini memiliki keterbatasan sumber daya dan keahlian. Dengan SDM yang lebih kuat, maka BPK dapat memperluas cakupan pemeriksaan serta memperdalam kualitas dan intensitas pemeriksaan sesuai UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sehingga laporan pemeriksaan BPK ke depan tidak lagi hanya berupa audit finansial umum, namun juga akan dilengkapi dengan audit kinerja, audit forensik (forensic audit), dan audit kejahatan (fraud audit).

Ketiga, memantapkan independensi BPK. Independensi BPK ini semestinya mendapat perhatian yang memadai karena akan menjadi basis bagi efektivitas dan kualitas pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Selama ini BPK tidak independen dalam mengatur struktur organisasinya sendiri dimana pengaturan personel BPK harus tunduk pada pengaturan yang ketat oleh Menneg PAN. BPK juga tidak independen dalam anggaran dimana BPK mengajukan anggaran ke Departemen Keuangan. Semestinya anggaran BPK bersumber langsung dari DPR, bukan dari pemerintah apalagi dari auditee.

Terkait hal ini, BPK juga harus mendapat landasan hukum untuk independensi legislasi yaitu BPK berwenang mengeluarkan peraturan audit keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah kantor akuntan publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan pembukuan sektor negara serta menilai hasil kerjanya. Hal ini penting karena BPK tidak akan mungkin mampu memeriksa seluruh keuangan negara sehingga BPK harus melimpahkan sebagian tugas tersebut ke KAP. Dititik inilah diperlukan standardisasi peraturan pemeriksaan untuk keuangan negara.

Keempat, tindak lanjut atas temuan BPK. Selama ini tindak lanjut atas temuan BPK sangat rendah. Walau mekanisme baku untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK baik oleh DPR, BPK, dan Instansi terkait telah ditegaskan dalam Pasal 20 UU No. 15/2004, namun pejabat yang tidak menindaklanjuti temuan BPK hanya diancam sanksi administratif kepegawaian saja. Tidak heran bila kemudian dari waktu ke waktu hasil pemeriksaan BPK menjadi mubazir karena rendahnya tindak lajut terhadap hasil temuan BPK.

Lebih jauh lagi publik sering tidak mengetahui temuan BPK ini karena BPK tidak memiliki wewenang mempublikasi hasil pemeriksaan kepada publik. BPK selama ini begitu tertutup dan ekslusif sehingga menjadi lahan subur korupsi. Auditor dilarang keras untuk mengungkapkan proses pemeriksaan ke publik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penyusunan laporan. Di area tertutup inilah auditor “hitam” sering bermain dengan memperjualbelikan proses pemeriksaan, bahkan sejak tahap perencanaan. Dalam menempatkan obyek pemeriksaan misal-nya, sudah ditentukan sejak awal bagian mana yang boleh diperiksa dan mana yang tidak.

Terkait hal ini BPK perlu memiliki kewenangan untuk mempublikasikan hasil pemeriksaan ke publik. Laporan pemeriksaan BPK juga semestinya dibuat dalam format yang jauh lebih sederhana daripada format baku selama ini. Dengan demikian pengawasan publik akan berjalan sehingga tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan BPK akan meningkat. Selain itu, selama ini jika BPK menemui kasus korupsi, temuan BPK seringkali berhenti di Kejaksaan atau Kepolisian. Disinilah kemudian publikasi temuan BPK kepada publik menjadi semakin penting dan relevan.


Oleh: Yusuf Wibisono

BPK DAN AKUNTABILITAS ANGGARAN PUBLIK

Akuntabilitas anggaran publik kembali mendapat sorotan. Kali ini Presiden SBY langsung yang menyinggung hal ini terkait dengan banyaknya kasus inefisiensi anggaran di daerah-daerah (Republika, 29 Maret 2006). Rendahnya akuntabilitas anggaran ini sebenarnya tidak hanya milik pemerintah daerah saja. Pemerintah pusat juga semestinya sering-sering berkaca sehingga sadar bahwa akuntabilitas anggaran mereka juga sama rendah-nya. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir, PAN (Perhitungan Anggaran Negara) secara berturut-turut selalu mendapat predikat “disclaimer” dari BPK. Hal ini menjadi ironis mengingat transparansi dan akuntabilitas anggaran publik adalah kunci utama dalam setiap upaya pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance.

Akuntabilitas anggaran publik setidaknya ditandai oleh dua hal yaitu bebas pemborosan dan bebas korupsi. Pemborosan anggaran publik selama ini sering muncul dalam berbagai bentuk antara lain: (i) pengeluaran-pengeluaran negara yang berada pada tingkat yang tidak wajar; (ii) kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat, seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas tujuannya; dan (iii) duplikasi kegiatan baik yang bersifat lintas program maupun lintas instansi.

Sementara itu korupsi anggaran hingga kini masih merajalela untuk dua alasan utama yaitu: (i) tindak lanjut yang sangat rendah atas hasil audit BPK baik terhadap APBN, APBD ataupun BUMN/BUMD; dan (ii) lemahnya penegakan hukum atas penyalahgunaan dana publik.

Dalam kaitan inilah, peranan BPK yang telah diberi amanat konstitusi sesuai amandemen ke-tiga UUD 1945 pasal 23E sebagai satu-satunya Supreme Audit Institution (pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara) menjadi sangat penting untuk tercipta-nya tranparansi dan akuntabilitas anggaran pada semua instansi publik yang menggunakan uang negara. Selain itu BPK juga mengemban tugas berat dalam pemberantasan korupsi. Sesuai pasal 3 UU No. 5 tahun 1973 tentang BPK, berbagai temuan penyimpangan/persoalan pidana dalam keuangan negara akan dilaporkan kepada Pemerintah, baik ke Kejakgung dan atau Polri. Tidak berlebihan bila kemudian BPK menjadi tumpuan harapan dan garda terdepan dalam program pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam keuangan negara.

Malangnya, harapan besar terhadap BPK ini berbenturan dengan kelemahan-kelemahan struktural yang selama ini melingkupi BPK. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat empat agenda utama yang harus dirangkum oleh RUU tentang BPK yang kini tengah digodok DPR agar dapat mendorong kinerja BPK.

Pertama, menghapus peraturan perundang-undangan yang menghambat kerja BPK. Walau telah mendapat landasan hukum yang kuat dari konsitusi dan UU, namun sejumlah UU secara nyata telah membatasi ruang gerak BPK dalam melakukan pemeriksaan sehingga mengurangi transparansi fiskal dan akuntabilitas keuangan negara di luar APBN. UU itu antara lain adalah UU yang mengatur tentang Pasar Modal, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak, dan Perbankan khususnya tentang kerahasiaan bank.

Sebagai misal, Pasal 68 yo Pasal 64 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa hanya akuntan yang memperoleh izin Menteri Keuangan dan terdaftar di Bapepam yang diperbolehkan memeriksa laporan keuangan emiten, termasuk perusahaan negara yang bersifat Perseroan Terbuka. Sementara itu Pasal 52 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah membuat BPK tidak dapat memeriksa yayasan-yayasan yang terkait dengan Instansi Pemerintah baik sipil maupun militer. Banyak terdapat kasus dimana yayasan-yayasan, terutama yang terkait dengan militer, menolak untuk diaudit oleh BPK.

Kedua, menghilangkan duplikasi pemeriksaan. Konstitusi secara jelas telah mengamanatkan bahwa BPK adalah satu-satunya auditor eksternal untuk keuangan negara. Hal ini harus dipertegas sehingga tidak ada lagi pemeriksaan dilakukan oleh BPKP atau bahkan oleh auditor swasta. Lebih buruk lagi, auditor eksternal selain BPK seringkali tidak mempergunakan Standar Audit Pemerintah (SAP). Dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan, Pemeriksaan Intern hanya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal di lingkungan Departemen, Inspektorat di lingkungan LPND, Bawasda di lingkungan Provinsi, Kabupaten dan kota, serta oleh SPI BUMN dan BUMD yang bersangkutan, sedangkan Pemeriksaan Ekstern hanya dilakukan oleh BPK.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Rabu, 14 April 2010

PAKET IKLIM INVESTASI DAN ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI - Habis

Hal ini memberi kita pelajaran bahwa tidak patut bagi sebuah negara besar seperti Indonesia untuk terlalu bergantung pada asing namun di sisi lain mengabaikan potensi domestik yang dimilikinya. Di titik inilah bertemu pragmatisme ekonomi jangka pendek dan visi pembangunan jangka penjang. Pengembangan industri domestik akan menjadi lebih kokoh jika telah establish terlebih dahulu di pasar domestik sebelum merambah ke pasar internasional.

Lemahnya keterkaitan industri domestik dan pasar domestik terlihat pada saat ini ketika pertumbuhan konsumsi yang positif tidak diikuti peningkatan produksi dalam negeri. Ekspansi permintaan domestik lebih banyak dipenuhi oleh impor. Di satu sisi hal ini terjadi memang dikarenakan murahnya barang impor dan pada saat yang sama produksi barang di dalam negeri terhambat oleh tingginya biaya produksi dan rendahnya produktivitas. Rendahnya perhatian terhadap pasar domestik harus dibayar mahal kini; kapasitas produksi yang rendah di tengah ekspansi konsumsi domestik. Ironi yang sangat menyakitkan. Rendahnya penggunaan kapasitas produksi dalam jangka panjang akan melemahkan kemampuan produksi nasional dan semakin menurunkan daya saing produk domestik. Kondisi ini juga akan melemahkan investasi dan mengurangi akumulasi modal dan pengetahuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Pemikiran lain yang juga sering mengemuka pasca krisis adalah revitalisasi sektor pertanian dan UKM. Potensi sektor pertanian dan UKM adalah besar yaitu memiliki kontribusi yang besar pada pendapatan nasional, penyerapan tenaga kerja yang tinggi, dan kinerja yang baik yang tercermin dari rendahnya kredit macet sektor-sektor ini.

Termasuk ke dalam sektor UKM ini adalah sektor informal perkotaan yang terbukti menyimpan potensi besar dan menjadi katup penyelamat di kala krisis. Dari survei yang dilakukan BPS DKI Jakarta awal tahun ini, terungkap bahwa sektor informal Jakarta mempekerjakan sekitar 141.073 orang pedagang kaki-lima yang beroperasi di pinggir-pinggir jalan ibukota dengan total omzet dari Rp 14,1 miliar sampai Rp 42,3 miliar per hari.

Pengembangan sektor pertanian dan UKM ini akan sangat besar manfaatnya bagi perekonomian Indonesia dan diyakini akan terus meningkat urgensinya di masa mendatang karena; (i) Sektor pertanian dan UKM menciptakan pendapatan untuk sebagian besar pekerja berpendapatan rendah. Implikasinya, peningkatan peran UKM tidak saja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga akan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan; (ii) Produksi sektor pertanian dan UKM berperan besar dalam penyediaan barang dan jasa dengan harga murah untuk konsumsi domestik. Implikasinya, peningkatan peranan pertanian dan UKM akan memperbaiki neraca pembayaran dan meningkatkan daya saing nasional; (iii) Sektor pertanian dan UKM memiliki fleksibilitas dan daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan usaha besar sehingga daya tahan usaha mereka lebih tinggi terhadap guncangan-guncangan eksternal.

Marjinalisasi secara struktural terhadap sektor ini –seperti yang baru saja dipertontonkan pemda DKI Jakarta dengan penggusuran-penggusurannya- jelas memperlihatkan rendahnya pemahaman dan kesadaran tentang potensi si kecil dalam perekonomian. Mengikuti Hernando de Soto, saat ini kita membutuhkan pemerintahan yang mampu mengintegrasikan si miskin dalam perekonomian, memberikan legalitas terhadap aset-aset mereka yang akan membuat mereka mampu memanfaatkan sistem formal. Bahkan mungkin kita membutuhkan hal tersebut dalam cara yang radikal, sebelum api kemiskinan meledakkan negeri.


Oleh: Yusuf Wibisono

PAKET IKLIM INVESTASI DAN ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI - Empat

Tidak ada yang salah dengan hal ini. Tetapi persoalannya adalah seberapa efektif dan seberapa cepat hal tersebut dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan? Persoalan investasi dan ekspor bukanlah agenda jangka pendek. Padahal kita semua sadar bahwa tahun depan akan penuh dengan ketidakpastian, terutama terkait dengan pelaksanaan pemilu. Pada saat yang sama tantangan eksternal yang dihadapi tidak berkurang dengan iklim persaingan global yang semakin berat. Dan yang lebih krusial lagi adalah kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan agenda kebijakan yang komprehensif itu.

Selain sensitif dengan gejolak politik dan keamanan domestik, bertumpu ke luar negeri juga tidak selalu memberi hasil yang memuaskan. FDI di Indonesia tidak memberi kontribusi yang siginifikan dalam perekonomian yang tercermin pada pangsanya yang kecil dalam pembentukan modal, penyerapan tenaga kerja yang sangat rendah, ketergantungan yang tinggi pada bahan baku impor, tidak menyebabkan terjadinya transfer teknologi, serta kontribusi pada penerimaan pajak yang rendah. Lebih jauh lagi, FDI memberi tekanan bagi neraca pembayaran karena terus meningkatnya arus modal keluar sebagai akibat dari meningkatnya devisa keluar yang berhubungan dengan aktivitas FDI seperti pembayaran atas ‘business services’ (termasuk royalti dan lisensi serta ‘management fee’), pembayaran bunga dari pinjaman investasi masa lalu, pembagian keuntungan, dll (UNIDO, 2000).

Maka boleh jadi usaha besar dan kerja keras pemerintah selama ini untuk meraih kepercayaan pasar dan mengundang investor asing adalah sangat manipulatif. Pekerjaan yang sangat menguras energi dan biaya, tetapi hanya memberikan fatamorgana.

Lalu, apa strategi pemulihan ekonomi Indonesia ke depan? Beberapa alternatif pemikiran yang muncul bermuara pada satu strategi besar; beralih dari foreign-driven growth ke domestic-driven growth. Satu pemikiran terpenting disini adalah bagaimana mengeksploitasi potensi pasar domestik yang besar. Produksi potensial suatu perekonomian akan tergantung pada besarnya pasar karena besarnya pasar merupakan indikasi seberapa jauh pengaruh permintaan domestik terhadap struktur produksi nasional suatu negara. Besarnya potensi pasar itu sendiri ditentukan oleh tingkat pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan faktor sosio-kultural seperti agama, budaya, adat, selera, dll. Dengan demikian jelaslah bahwa jumlah penduduk ikut mempengaruhi struktur produksi domestik suatu negara.

Sejak lama, terdapat banyak literatur yang menunjukkan pentingnya pasar domestik sebagai tempat penyerapan produk industri domestik. Bukti terbaik adalah studi Chenery et. al. (1975, 1986, 1989) yang menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan output yang terpenting adalah pertumbuhan dalam permintaan domestik. Di negara-negara dengan populasi lebih dari 20 juta, pertumbuhan permintaan domestik menyumbang 72-74 persen dari kenaikan dalam output industri domestik. Bahkan di negara dengan pasar domestik yang kecil seperti Korea, ekspansi permintaan domestik menyumbang 53 persen dari ekspansi dalam output industri domestik.

Pengalaman ini kembali dibuktikan Korea Selatan pasca 1997. Setelah krisis 1997, Korea Selatan merubah arah perekonomian secara drastis dengan mendayagunakan seluruh sumber daya domestik untuk keluar dari krisis. Dengan kombinasi permintaan domestik, industri kecil dan menengah serta para pekerja yang berketrampilan tinggi, Korea sukses mendorong perekonomian menuju kemakmuran hanya dalam empat tahun sejak krisis 1997. Malaysia pasca krisis juga menerapkan strategi pendayagunaan sumber daya domestik ini untuk bangkit dari krisis.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Selasa, 13 April 2010

PAKET IKLIM INVESTASI DAN ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI - Tiga

Kegagalan pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat setidaknya memiliki dua implikasi yang sangat penting bagi masa depan reformasi di negeri ini. Dari segi sosial-ekonomi, rendahnya stimulus fiskal yang membuat tingkat pengangguran masih tinggi secara langsung akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat sehingga tujuan pengurangan angka kemiskinan akan semakin sulit dicapai. Pada gilirannya kemiskinan akan mudah sekali memicu berbagai disharmoni dan anarki sosial mulai dari kriminalitas hingga kerusuhan sosial, bahkan separatisme.

Dari segi politik, lambatnya pemulihan ekonomi akan memicu pragmatisme masyarakat untuk secara sederhana mempostulatkan bahwa rezim lama lebih baik dari rezim baru karena rezim baru terbukti gagal memberi kesejahteraan bagi rakyat. Hal ini setidaknya terekam dari hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga seperti CESDA-LP3ES (Mei 2003), DRI (Juli 2003), dan IFES (Agustus 2003), yang semuanya menunjukkan bahwa dukungan masyarakat pada partai yang kini berkuasa (PDIP), cenderung semakin menurun dan sebaliknya dukungan kepada the old ruling party (Partai Golkar) semakin menguat.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, membiarkan kemiskinan terlalu lama adalah sebuah kejahatan yang luar biasa karena, selain untuk alasan moral-sosial-ideologis diatas, hal itu sama artinya dengan mempersilakan kekuatan lama untuk mengkonsolidasikan diri menuju kursi kekuasaan kembali melalui pemilu 2004.

ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI

Mungkin salah satu kelemahan terbesar para pemimpin negeri ini adalah kemampuan abstraksi dan analisa yang lemah. Kelemahan ini adalah fatal karena yang menonjol kemudian adalah cara berfikir yang selalu linear, terlalu menyederhanakan masalah dan tidak mampu berfikir kreatif. Hal ini jelas terlihat dalam Inpres No. 5 Tahun 2003 tentang paket kebijakan ekonomi pasca IMF (white paper). Tidak ada sesuatu yang baru dalam white paper yang ditawarkan pemerintah ini. Paket kebijakan tersebut tidak lebih dari album kompilasi dari LOI-LOI sebelumnya yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan IMF.

Fokus kebijakan pemerintah dalam white paper adalah stabilisasi, bukan mendobrak kebekuan ekonomi. Program-program masih berkutat di seputar bagaimana mendongkrak kepercayaan pasar dengan tujuan akhir memdorong investasi dan arus modal masuk serta peningkatan ekspor seperti di masa lalu yang telah membantu transformasi perekonomian dari negara agragis terbelakang menjadi negara industri baru yang diperhitungkan. Program yang kemudian coba digulirkan adalah stabilisasi ekonomi makro, kebijakan investasi yang kondusif, berbagai deregulasi untuk revitalisasi sektor industri dan perdagangan, penegakan hukum, serta jaminan keamanan. Tidak ada yang “shocking” disini.

Orientasi kebijakan jelas terlihat masih berkiblat pada paradigma lama yang sangat mengandalkan sumber daya asing untuk menghela perekonomian. Stabilitas makro diharapkan akan menaikkan kepercayaan pasar. Peninjauan DNI (daftar negatif investasi), pengajuan RUU Penanaman Modal ke parlemen, dan pelayanan ijin satu atap, jelas ditujukan untuk mendorong masuknya investasi asing. Lebih jauh lagi, ketergantungan pemerintah terhadap sumber pembiayaan luar negeri tetap tidak berkurang walau hubungan dengan IMF akan segera berakhir pada Desember mendatang. Bahkan dalam RAPBN 2004, pemerintah menganggarkan penjualan obligasi internasional yang direncanakan berjumlah hingga US$ 1 miliar.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

PAKET IKLIM INVESTASI DAN ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI - Dua

Selain itu, paket kebijakan ini juga cenderung terjebak pada agenda-agenda jangka panjang yang membutuhkan waktu lama untuk melihat hasilnya, seperti perbaikan administrasi pajak, efisiensi pengeluaran negara, peningkatan kemampuan dan kinerja aparat penegak hukum, dan perbaikan sistem administrasi kepabeanan.

Lebih jauh lagi, program-program yang diajukan dalam paket ini banyak yang bersentuhan langsung dengan vested interest dari berbagai kelompok kepentingan (seperti reformasi hukum dan pemberantasan korupsi), dan karenanya membutuhkan kemauan dan keberanian politik yang tinggi untuk melakukannya; sesuatu yang tidak dimiliki oleh pemerintahan ini. Pemerintahan Megawati selama ini jauh dari gambaran pemerintahan yang berani dan mampu bertindak cepat. Maka dimasukkannya agenda-agenda seperti ini nampak sekali hanya sekedar menjadi pemanis dokumen dan bukan berangkat dari kesadaran tentang pentingnya pemerintahan yang bersih dan kredibel. Hal ini justru akan menurunkan kredibilitas paket kebijakan ini secara keseluruhan sehingga menjadi kontraproduktif bagi usaha meningkatkan kepercayaan pasar.

Bukan kebijakan jangka panjang, tidak terkait dengan kebutuhan rakyat banyak, dan penuh bualan seperti ini yang kita butuhkan sekarang. Yang perlu didorong sekarang ini adalah kebijakan yang secara langsung dan cepat akan menaikkan pendapatan sebagian besar rakyat miskin kita. Inilah prioritas nasional yang semestinya mendapat perhatian tertinggi dalam paket kebijakan ekonomi ini!

Semestinya paket kebijakan ini berfokus pada beberapa variabel ekonomi kunci –yaitu pengentasan kemiskinan- yang akan menjadi basis bagi reformasi ekonomi berikutnya. Dari sinilah kemudian program-program reformasi ekonomi semestinya diturunkan, bukan sekedar menyelipkan program pengentasan kemiskinan dalam deretan panjang paket kebijakan ekonomi.

Sudah terlalu lama rakyat negeri ini berkubang dalam kemiskinan. Untuk negara dengan jumlah penduduk miskin mencapai seperlima-nya, prioritas tertinggi semestinya diberikan pada perbaikan tingkat kesejahteraan penduduk miskin ini. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi hanya 3-4 persen per tahun seperti sekarang ini, bisa dipastikan bahwa target rasio angkat kemiskinan 14% pada 2004 yang dipatok Propenas tidak akan tercapai. Pertumbuhan sebesar ini juga tidak akan mampu mengembalikan pendapatan per kapita pada tingkat sebelum krisis.

Tidak sepantasnya pemerintah menganggap remeh masalah kemiskinan ini. Jumlah orang miskin yang mencapai sekitar 40 juta orang, tidak bisa dilihat sebagai angka statistik semata. Kemiskinan adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan. Jutaan rakyat miskin negeri ini semestinya berhak untuk hidup bebas dari rasa lapar dan takut, bebas dari pelacuran dan perbudakan sesama manusia, bebas dari kebodohan dan kesakitan, dan bebas dari berbagai tragedi kemanusiaan lainnya.

Alih-alih memastikan keberhasilan reformasi awal yang memberi manfaat secara luas kepada masyarakat dan akan menjadi basis bagi proses reformasi selanjutnya, kebanyakan proses reformasi ekonomi justru meminta masyarakat luas bersedia menanggung “beban” yang berat dan berkepanjangan. Stabilisasi makro dan penyehatan perbankan yang menyedot sebagian besar sumber daya nasional misalnya, selama ini selalu mendapat prioritas tertinggi walaupun hingga kini belum memberikan hasil yang sepadan bagi kesejahteraan rakyat banyak. Dengan beban reformasi ekonomi yang terdistribusi secara sangat tidak merata dan tidak adil maka sulit bagi rakyat banyak yang kalah dalam proses reformasi untuk menjadi pendukung reformasi.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Minggu, 04 April 2010

PAKET IKLIM INVESTASI DAN ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI

Pada 27 Februari 2006, pemerintah secara resmi Terhitung sejak 15 September 2003 yang lalu, pemerintah secara resmi memutuskan untuk keluar dari Extended Fund Facility (EFF) IMF dan sekaligus untuk pertama kalinya sejak krisis 1997 membuat program ekonomi-nya sendiri tanpa mandor asing seiring dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama Dengan IMF.

Paket kebijakan ekonomi tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda substansi isinya dari letter of intent (LOI). Secara gagah mungkin ini bisa disebut sebagai LOI dari, oleh dan dengan pengawasan pemerintah sendiri. Namun secara substansi, tidak ada yang “shocking” di dalam paket kebijakan ini. Paket kebijakan ini tidak lebih dari album kompilasi LOI-LOI yang telah dibuat sebelumnya antara pemerintah dan IMF. Bedanya kini, program menjadi lebih transparan dengan dicantumkannya sasaran waktu, output yang dihasilkan serta pelaksana dan penanggung jawab program.

Paket kebijakan ini dibuat dengan sasaran pokok stabilisasi ekonomi makro, restrukturisasi sektor keuangan, dan dinamisasi sektor riil dengan rentang kebijakan yang sangat luas, meliputi program konsolidasi fiskal, pemantapan neraca pembayaran (program stabilisasi ekonomi makro), pembuatan jaring pengaman sektor keuangan, restrukturisasi dan penyehatan perbankan, penanganan tindak pidana pencucian uang, kebijakan pasar modal, asuransi, dan dana pensiun, peningkatan kinerja BUMN, pengembangan profesi akuntan publik (program reformasi sektor keuangan), kebijakan investasi, industri dan perdagangan, kebijakan UKM dan Koperasi, kebijakan perpajakan dan kepabeanan, kebijakan reformasi hukum, kebijakan transportasi dan telekomunikasi, kebijakan energi, kelistrikan dan sumber daya air, kebijakan keamanan, ketertiban dan pelayanan masyarakat, kebijakan ketenagakerjaan dan penanggulangan kemiskinan (program revitalisasi sektor riil). Sebuah paket kebijakan ekonomi yang sangat ambisius dan komprehensif mengingat paket ini adalah kebijakan jangka pendek, dan jangka menengah untuk beberapa program.

Program reformasi yang seperti ini jelas tidak menggambarkan prioritas kebijakan sebagaimana layaknya sebuah negara yang sedang berusaha untuk keluar dari krisis dengan segala masalah dan kendala yang dihadapinya. Paket kebijakan seperti ini ibarat memutar jarum sejarah ke belakang seperti di awal krisis 1997. Saat itu, alih-alih berfokus pada beberapa variabel kunci yang dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar, pemerintah justru menerapkan reformasi ekonomi dengan pendekatan “scatter-gun”. Dan hasilnya kita semua sudah melihatnya; lima tahun terpuruk tanpa perbaikan yang berarti dalam kesejahteraan masyarakat.

Kita tidak belajar dari pengalaman tersebut; agenda reformasi yang baik tidak akan banyak berguna jika dilakukan tidak pada waktu yang tepat dan pemerintah tidak memiliki kesanggupan untuk melakukannya. Agenda reformasi adalah perspektif perubahan dalam kerangka aturan main negara bersangkutan yang secara rasional dapat di-implementasi-kan, dengan telah mempertimbangkan kapasitas pemerintah dan proses politik yang menyertai-nya. Dalam situasi negara seperti sekarang ini, seberapa besar peluang kebijakan yang super komprehensif itu dapat diterapkan? Dengan mudah kita akan segera pesimis dan memprediksi bahwa kegagalan akan tidak terelakkan; kebijakan yang terlalu banyak dikombinasikan dengan politisi partisan yang egois, dan birokrasi yang lemah dan korup, tidak akan mampu mengimplementasikan agenda-agenda ambisius pemerintah tersebut.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

MENGGAGAS JARING PENGAMAN RESPONSIF - Habis

Kedua, Islam mendorong penciptaan lapangan kerja yang luas. Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Sedemikian penting-nya bekerja hingga Islam menjadikan bekerja sebagai salah satu pilar terpenting kualitas ke-Islaman seseorang (QS 9:105). Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW memberi dua dirham kepada seorang laki-laki dan menyuruhnya agar makan dari satu dirham dan membeli kapak dari satu dirham sisanya sebagai modal agar ia bekerja. Tidak heran pula bila kemudian dalam lintasan sejarah Islam kita melihat perhatian yang besar dari pemerintah terhadap public works terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan penciptaan lapangan kerja.

Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman cukup baik dalam hal ini seperti dalam program IDT (inpres desa tertinggal) dan program padat karya. Program padat karya disamping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, juga akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program padat karya seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan memperluas coverage program dan mengurangi leakages.

Institusionalisasi program padat karya membuat program ini menjadi salah satu bentuk jaring pengaman responsif yang menjanjikan. Dengan membuatnya permanen, maka program padat karya secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Contoh klasik disini adalah Skema Jaminan Kerja di negara bagian Maharashtra, India. Skema ini ditujukan untuk mendukung pendapatan di daerah pedesaan dengan menyediakan pekerjaan pada tingkat upah rendah bagi siapapun yang menginginkannya. Program ini menurun pada masa panen dan meningkat pada masa paceklik. Mekanisme upah rendah menjadi automatic screen yang membuat program ini tepat sasaran. Program ini sebagian besar dibiayai oleh pajak dari penduduk kaya kota yang merasakan manfaat program ini berupa turunnya migrasi desa-kota.

Ketiga, Islam mendorong distribusi pendapatan dalam masyarakat. Islam memiliki mekanisme yang membuat kekayaan berputar tidak hanya dikalangan orang kaya. Instrument terpenting disini adalah zakat. Zakat memiliki berbagai keunggulan yang membuatnya menjadi jaring pengaman sosial yang responsif yaitu: (i) penggunaan zakat hanya untuk 8 golongan saja (ashnaf) yaitu fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil (QS 9:60).

Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor dan self-targeted; (ii) zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program jaminan sosial; (iii) zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengaman sosial dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Selain zakat, Islam juga memiliki instrumen lain seperti infaq, shadaqah, dan wakaf. Secara bersama-sama, semua instrument tersebut akan membuat distribusi pendapatan lebih merata setiap waktu. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari jaring pengaman sosial yang responsif.


Oleh: Yusuf Wibisono

Jumat, 02 April 2010

MENGGAGAS JARING PENGAMAN RESPONSIF - Dua

Islam dan Jaring Pengaman Responsif

Islam sebagai sistem kehidupan memiliki pandangan yang unik tentang sistem jaring pengaman sosial yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, pemikiran ekonom muslim, maupun praktek sejarah. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara (QS 9:60).

Islam memberikan kewajiban pada pemerintah, hanya setelah mendayagunakan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat. Perlindungan berlapis ini membuat sistem bekerja sangat responsif terhadap gejolak yang dialami kelompok miskin yang akan membuat mereka terhindar dari berbagai tragedi kemanusiaan akibat kemiskinan.

Dalam literatur sejarah pemikiran ekonomi Islam, kita mendapati pembahasan yang mendalam tentang jaring pengaman sosial. Ibn Hazm (994-1064 M) mencatat empat kebutuhan dasar penduduk yang wajib untuk dipenuhi oleh negara yaitu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) berargumen bahwa setiap orang harus dijamin standar hidup minimum-nya agar dapat menjalankan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa semua aktivitas pertanian, industri, dan komersial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, hukumnya adalah fardhu kifayah.

Praktek sejarah dalam pemerintahan Islam juga memberi kita pemahaman yang mendalam tentang berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program jaring pengaman sosial.

Pertama, Islam memandang bahwa anggaran negara adalah harta kaum muslim, bukan harta negara, apalagi harta para pejabat-nya. Implikasinya, anggaran negara tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat (pro-poor budget) dan dibelanjakan sesuai prinsip-prinsip dalam hukum Islam.

Sebagai misal, pada masa Khalifah Umar bin Khattab harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Bahkan, karena hidup sangat sederhana, Khalifah Umar sendiri pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya. Dengan prinsip ini, maka anggaran negara di dalam Islam menjadi sangat responsif dalam melindungi kelompok miskin.

Maka menjadi keprihatinan yang mendalam bagi kita melihat anggaran pemerintah negeri ini dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk membayar pokok dan bunga utang. Tidak terlihat upaya untuk menurunkan beban utang seraya pada saat yang sama melindungi kepentingan kelompok miskin.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

MENGGAGAS JARING PENGAMAN RESPONSIF

Pemerintah berkeras meneruskan program SLT (subsidi langsung tunai) walau program ini banyak mendapat kritikan pedas dari berbagai pihak. Setelah SLT tahap I selesai digulirkan, pemerintah memastikan pembayaran SLT tahap II akan dilakukan mulai 2 Januari hingga 31 Maret 2006. (Republika, 30/12/2005).

Evaluasi secara cepat terhadap program SLT menunjukkan tingkat keberhasilan yang rendah. Secara umum kita dapat mengevaluasi program jaring pengaman sosial seperti SLT ini, dengan tiga kriteria utama yaitu: (i) cakupan (coverage), yaitu bagaimana kelompok miskin tercakup secara luas di dalam program; (ii) minimalisasi kebocoran (leakages), yaitu bagaimana kelompok non-miskin dapat dicegah untuk ikut menikmati program; dan (iii) minimalisasi biaya operasional program.

Sebagaimana telah diduga banyak pihak sebelumnya, program SLT memperlihatkan pencapaian yang rendah di semua kriteria. Buruknya basis data, tenggang waktu yang ketat, serta birokrasi yang lemah dan korup membuat program SLT gagal. Pemberitaan di berbagai media memperlihatkan tingkat cakupan program yang rendah dan tingginya tingkat kebocoran.

Di sisi lain, biaya operasional program juga tidak kecil, dan ironisnya sebagian besar justru harus ditanggung oleh si penerima program dalam bentuk transaction cost (biaya tranportasi dan pungli) yang tinggi ketika harus mengambil dana secara langsung ke tempat-tempat penyaluran dana yang telah ditunjuk. Bahkan di banyak tempat, penerima program tidak hanya berkorban dana tetapi juga keringat, darah dan bahkan nyawa karena harus berjibaku dalam antrian panjang yang kisruh untuk memperoleh Rp 300 ribu. Sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa.

SLT dan Jaring Pengaman Responsif

Kegagalan program SLT menambah panjang daftar kegagalan program-program kompensasi sosial yang dilakukan oleh pemerintah seperti program JPS dan program raskin. Program targeted-subsidy massal seperti SLT, membutuhkan basis data yang akurat tentang siapa dan dimana orang miskin itu berada. Pengembangan basis data seperti ini membutuhkan usaha luar biasa dan dana yang sangat mahal. Dengan keterbatasan dalam kriteria penduduk miskin, tenaga SDM, dana dan waktu, tidak heran bila BPS gagal menyediakan basis data seperti ini. Hal ini menjadi semakin rumit untuk daerah-daerah yang terkena bencana alam luar biasa seperti Aceh dan Nias, atau daerah konflik seperti Poso.

Program targeted-subsidy juga membutuhkan sistem pengawasan dan informasi yang ketat dan berkelanjutan. Sifat dasar program mengharuskan adanya pengawasan yang ketat dalam penyaluran subsidi serta informasi yang terus menerus tentang si miskin mengingat kemiskinan adalah dinamis.

Lebih jauh lagi, program SLT menuai kritik karena program ini tidak mendidik masyarakat miskin, menumbuhkan mental pemalas, kental dengan nuansa feodal-subordinat, dan merendahkan kemanusiaan orang miskin.

Selain kegagalan dalam hal cakupan, kebocoran, dan biaya, program jaring pengaman sosial umumnya juga cenderung gagal dalam melindungi kelompok miskin pada waktu yang tepat. Adalah tidak jelas bagaimana program pengaman sosial yang diluncurkan setelah gejolak terjadi, dapat melindungi si miskin. Masalah waktu dan efektifitas menjadi hal paling krusial disini. Hal ini memunculkan isu tentang perlindungan terhadap kelompok miskin secara cepat dan tepat.

Program pengaman yang terbaik adalah ketika ia sampai di tangan si miskin ketika ia dibutuhkan (just-in-time delivery). Karenanya pendekatan yang lebih baik adalah dengan desain kebijakan yang secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Kita sebut saja ia dengan jaring pengaman responsif.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono