Riba adalah akar dari semua krisis finansial yang dialami perekonomian modern. Penerapan riba secara inheren mendorong kenaikan uang beredar dalam jangka panjang. Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat dari sektor riil inilah yang mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menciptakan kemiskinan, meningkatkan kesenjangan, dan mengalihkan kedaulatan ekonomi ke tangan para pemilik modal. Karena itu di dalam Islam, modal diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif, bukan spekulatif, melalui kerjasama atau penyertaan modal di sektor riil. Dengan demikian, keseimbangan sektor moneter dan riil dapat terjaga, sehinga inflasi terkendali. Demikianlah Islam mengendalikan inflasi sebagai salah satu tujuan terpenting pembangunan dalam rangka menjaga daya beli masyarakat dan menciptakan stabilitas perekonomian.
Maka menjadi ironis ketika kita melihat BI pontang-panting memertahankan target inflasi karena biaya operasional moneter yang besar dan sistem perbankan ribawi yang tidak sehat. Suku bunga SBI yang terus merangkak naik dan tingkat LDR (loan to deposit rasio) perbankan konvensional yang rendah berperan besar dalam menciptakan tekanan inflasi dan lambatnya pemulihan ekonomi nasional. Maka sudah saatnya BI dan pemerintah memberi perhatian lebih besar pada penerapan sistem finansial Islam untuk sistem moneter yang efisien, tidak bersifat inflatoir, dan berpihak pada pembangunan sektor riil. Kedua, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak (pro-poor budgeting). Islam sangat mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan publik.
Khalifah Umar memperkenalkan penggunaan anggaran negara untuk dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang menderita dengan membentuk sistem diwan pada tahun 20 H yang merupakan sistem jaminan sosial pertama di dunia. Maka menjadi ironis bila kita melihat pengelolaan anggaran negara saat ini yang penuh dengan pemborosan dan korupsi. Penghematan dan penghapusan korupsi dalam anggaran negara, akan memberi sumber dana yang sangat signifikan bagi pembiayaan program pengentasan kemiskinan. Sebagai misal, potensi penghematan anggaran saja diperkirakan mencapai 5-20 persen dari total belanja pemerintah. Pengurangan beban utang juga harus menjadi prioritas terpenting. Usaha-usaha debt-swap hingga penghapusan utang perlu dilakukan pemerintah secara serius.
Ketiga, Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kapasitas dan produktivitas perekonomian. Sebagai misal, Khalifah Umar memerintahkan gubernur Mesir, Amr bin Ash, untuk mempergunakan sepertiga penerimaan Mesir untuk pembangunan jembatan, kanal, dan jaringan air bersih. Islam juga mendorong pembangunan fasilitas pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Nabi Muhammad SAW melakukan ''gerakan melek huruf'' pertama di dunia dengan meminta tebusan bagi tawanan perang dengan mengajarkan baca tulis kepada masyarakat. Khalifah Umar memperkenalkan kepada masyarakat Islam saat itu sistem administrasi dan akuntansi dari Persia dan juga teknik irigasi serta arsitektur dari Romawi.
Maka pembangunan infrastruktur Indonesia semestinya diarahkan pada pembangunan infrastruktur pedesaan dan pesisir di mana sebagian besar orang miskin berada. Seperti dengan pembangunan jalan desa, jaringan listrik, dan air bersih. Ironisnya, fokus pembangunan infrastruktur Indonesia saat ini adalah jalan tol trans-Jawa yang pro orang kaya-kota, boros BBM, tidak ramah lingkungan, dan semakin mendorong konversi lahan pertanian. Demikianlah Islam mendorong pengentasan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, fokus pada sektor riil, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Oleh: Yusuf Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar