Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 November 2011

7 TAHUN BARU DI SELURUH DUNIA I

1. Tahun Baru Masehi



Tahun Baru Masehi jatuh pada tanggal 1 Januari dalam Kalender Gregorian dan Kalender Julian yang berbasis pergerakan matahari. Disebut Masehi karena Kalender Gregorian awalnya digunakan oleh kerajaan-kerajaan Eropa yang beragama Kristen/ Masehi. Sebagian besar negara di dunia saat ini mengadopsi Kalender Gregorian sebagai kalender administrasi, sehingga Tahun Baru Masehi menjadi tahun baru yang paling banyak diperingati di seluruh dunia.
Tahun Baru Masehi berakar dari kebudayaan Romawi Kuno sebagai hari perayaan untuk Janus, dewa dari segala pintu dan permulaan. Januari sebagai nama bulan pertama juga diambil dari nama Janus. Ketika Paus Gregorius menyusun kalender liturgis untuk Gereja Katolik yang akhirnya dikenal sebagai Kalender Gregorian, dia menetapkan 1 Januari sebagai peringatan Hari Penyunatan Yesus, yang dihitung 8 hari sesudah Natal pada 25 Desember. Sekitar abad 17 sampai 18, tanggal 1 Januari sebagai tahun baru mulai menyebar di negara-negara Eropa dan biasanya diperingati dengan misa di gereja. Seiring dengan kolonialisme, gerakan misionaris, dan hegemoni negara-negara Barat, Tahun Baru Masehi mulai dirayakan di berbagai belahan dunia. Hingga saat ini, Tahun Baru Masehi lebih sering dirayakan secara sekuler dengan konser musik dan pesta kembang api.

2. Tahun Baru Cina



Tahun Baru Cina, atau disebut juga Tahun Baru Imlek, diperingati pada hari pertama bulan pertama dalam Kalender Cina yang jatuh antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari. Perayaan Imlek biasanya berlangsung selama 15 hari yang ditutup dengan Perayaan Cap Go Meh. Berasal dari Cina Daratan, perayaan ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, terutama di mana terdapat pecinan dan komunitas cina. Tahun Baru ini juga dirayakan di beberapa negara yang dipengaruhi kebudayaan Cina, seperti Korea, Jepang, Vietnam, Mongolia, dan Bhutan.
Tahun Baru Cina mungkin telah dirayakan selama lebih dari 3.000 tahun, menandai dimulainya musim semi di Cina. Pada tahun baru, seluruh kota dan desa akan berhias dalam warna merah yang dianggap sebagai warna keberuntungan. Rumah-rumah dibersihkan dan keluarga akan berkumpul pada malam sebelum Imlek untuk makan bersama dan bermain petasan. Pada esok harinya, anak-anak akan mengucapkan selamat tahun baru pada orangtuanya, dan mereka menerima angpao berisi uang. Aneka dekorasi seperti lampion dan kertas gambar digantung di depan rumah dan kelenteng, sementara sejumlah atraksi seperti liong dan barongsai akan menghibur orang-orang. Di Cina, momen perayaan Imlek menjadi ajang mudik bagi warga Cina di perkotaan untuk pulang ke kampung halamannya masing-masing. Mudik yang disebut sebagai Chunyun ini merupakan peristiwa mudik tahunan terbesar di dunia, mengalahkan mudik lebaran di Indonesia.

3. Tahun Baru Islam



Tahun Baru Islam atau disebut juga Ro’s As-Sanah (Kepala Tahun) jatuh pada tanggal 1 Muharram dalam Kalender Islam/ Hijriyah. Tahun baru ini selalu berubah tanggalnya jika menggunakan patokan Kalender Gregorian, karena Kalender Hijriyah adalah kalender lunar murni yang tidak memperhitungkan pergerakan matahari. Meski pun merupakan tahun baru resmi, tanggal 1 Muharram jarang dirayakan secara besar-besaran oleh komunitas Islam di berbagai belahan dunia.
Tidak ada perayaan yang jelas dalam sebagian besar tradisi Islam berkaitan dengan tanggal 1 Muharram. Namun khusus di beberapa wilayah Jawa, 1 Muharram yang disebut sebagai 1 Suro memiliki arti penting yang biasa dirayakan dengan melakukan kirab dan sejumlah ritual seperti membersihkan benda-benda pusaka. Perayaan terdekat dengan tanggal ini adalah Hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Hari Asyura umumnya diperingati oleh muslim syi’ah untuk mengenang gugurnya Husein dan keluarganya dalam pertempuran di Karbala. Di Sumatera, Hari Asyura dirayakan dengan mengarak tandu hias yang disebut Tabut/ Tabuik untuk dibuang ke laut. Dalam beberapa tahun belakangan ini, sejumlah komunitas Islam juga mulai merayakan Tahun Baru Islam dengan sejumlah kegiatan religius sebagai alternatif dari Tahun Baru Masehi.

4. Tahun Baru Persia



Tahun Baru Persia, atau disebut juga Nowruz (Hari Baru), jatuh pada hari pertama dalam Kalender Persia. Seperti Tahun Baru Cina, Nowruz juga dirayakan untuk memperingati awal musim semi di Iran yang biasanya jatuh pada 21 Maret atau sebelumnya. Perayaan Nowruz berlangsung meriah di Iran dan sejumlah negara yang terpengaruh kebudayaan Iran seperti Pakistan, Afghanistan, Turki serta beberapa negara di Asia Tengah dan Balkan.
Nowruz kemungkinan telah dirayakan selama lebih dari 2.500 tahun sebagai festival musim semi agama Zoroastrian. Pada perayaan ini, orang-orang akan turun ke jalan melakukan pesta api dengan membuat api unggun besar. Setiap rumah telah dibersihkan beberapa hari menjelang Nowruz. Kemudian di samping meja makan akan dipasang dekorasi khas yang disebut meja haft sin, terdiri dari tujuh jenis barang seperti rumput gandum, apel, cermin, dan lilin, yang masing-masing mengandung makna tersendiri. Di tahun baru ini, mereka akan mengunjungi sanak keluarga dan menyiapkan aneka hindangan. Mereka juga saling bertukar hadiah dan berdoa untuk kebahagiaan setahun mendatang. Di Iran dan sejumlah negara lainnya, Nowruz adalah hari libur nasional.

Bersambung ke 7 TAHUN BARU DI SELURUH DUNIA II

Oleh : Lari Pagi

Senin, 17 Mei 2010

MDGs, Islam, dan Kemiskinan di Indonesia - Habis

Riba adalah akar dari semua krisis finansial yang dialami perekonomian modern. Penerapan riba secara inheren mendorong kenaikan uang beredar dalam jangka panjang. Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat dari sektor riil inilah yang mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menciptakan kemiskinan, meningkatkan kesenjangan, dan mengalihkan kedaulatan ekonomi ke tangan para pemilik modal. Karena itu di dalam Islam, modal diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif, bukan spekulatif, melalui kerjasama atau penyertaan modal di sektor riil. Dengan demikian, keseimbangan sektor moneter dan riil dapat terjaga, sehinga inflasi terkendali. Demikianlah Islam mengendalikan inflasi sebagai salah satu tujuan terpenting pembangunan dalam rangka menjaga daya beli masyarakat dan menciptakan stabilitas perekonomian.

Maka menjadi ironis ketika kita melihat BI pontang-panting memertahankan target inflasi karena biaya operasional moneter yang besar dan sistem perbankan ribawi yang tidak sehat. Suku bunga SBI yang terus merangkak naik dan tingkat LDR (loan to deposit rasio) perbankan konvensional yang rendah berperan besar dalam menciptakan tekanan inflasi dan lambatnya pemulihan ekonomi nasional. Maka sudah saatnya BI dan pemerintah memberi perhatian lebih besar pada penerapan sistem finansial Islam untuk sistem moneter yang efisien, tidak bersifat inflatoir, dan berpihak pada pembangunan sektor riil. Kedua, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak (pro-poor budgeting). Islam sangat mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan publik.

Khalifah Umar memperkenalkan penggunaan anggaran negara untuk dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang menderita dengan membentuk sistem diwan pada tahun 20 H yang merupakan sistem jaminan sosial pertama di dunia. Maka menjadi ironis bila kita melihat pengelolaan anggaran negara saat ini yang penuh dengan pemborosan dan korupsi. Penghematan dan penghapusan korupsi dalam anggaran negara, akan memberi sumber dana yang sangat signifikan bagi pembiayaan program pengentasan kemiskinan. Sebagai misal, potensi penghematan anggaran saja diperkirakan mencapai 5-20 persen dari total belanja pemerintah. Pengurangan beban utang juga harus menjadi prioritas terpenting. Usaha-usaha debt-swap hingga penghapusan utang perlu dilakukan pemerintah secara serius.

Ketiga, Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kapasitas dan produktivitas perekonomian. Sebagai misal, Khalifah Umar memerintahkan gubernur Mesir, Amr bin Ash, untuk mempergunakan sepertiga penerimaan Mesir untuk pembangunan jembatan, kanal, dan jaringan air bersih. Islam juga mendorong pembangunan fasilitas pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Nabi Muhammad SAW melakukan ''gerakan melek huruf'' pertama di dunia dengan meminta tebusan bagi tawanan perang dengan mengajarkan baca tulis kepada masyarakat. Khalifah Umar memperkenalkan kepada masyarakat Islam saat itu sistem administrasi dan akuntansi dari Persia dan juga teknik irigasi serta arsitektur dari Romawi.

Maka pembangunan infrastruktur Indonesia semestinya diarahkan pada pembangunan infrastruktur pedesaan dan pesisir di mana sebagian besar orang miskin berada. Seperti dengan pembangunan jalan desa, jaringan listrik, dan air bersih. Ironisnya, fokus pembangunan infrastruktur Indonesia saat ini adalah jalan tol trans-Jawa yang pro orang kaya-kota, boros BBM, tidak ramah lingkungan, dan semakin mendorong konversi lahan pertanian. Demikianlah Islam mendorong pengentasan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, fokus pada sektor riil, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.


Oleh: Yusuf Wibisono

MDGs, Islam, dan Kemiskinan di Indonesia

Pada 3-5 Agustus 2005, Indonesia menjadi tuan rumah Regional Ministerial Meeting on Millenium Development Goals (MDGs) untuk kawasan Asia-Pasifik. Tujuan pertemuan ini adalah untuk merumuskan strategi-strategi nasional dalam mencapai delapan tujuan MDGs pada 2015 di kawasan Asia Pasifik. Kedelapan tujuan MDGs itu adalah menghapus kemiskinan dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita; mengurangi kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi AIDS, malaria dan penyakit lain; memastikan kelangsungan lingkungan; dan mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.

Bagi Indonesia, momentum ini menjadi penting sekaligus sebuah ironi. Karena setelah 60 tahun merdeka, kemiskinan tidak pernah berakhir. Program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, namun kemiskinan tetap terjadi dalam skala yang luas, bahkan dengan derajat yang lebih tinggi. Belum lama kita diguncang oleh wabah polio, kini kita dikejutkan oleh wabah busung lapar. Esok, entah cerita kemiskinan apalagi yang akan terkuak.

Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia kini tersebar luas. Di tahun 2004, BPS memerkirakan jumlah orang miskin 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari total penduduk. Namun angka ini sangat konservatif. Bank Dunia memerkirakan angka kemiskinan hanya 7,4 persen dengan garis kemiskinan satu dolar AS sehari. Namun, jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi dua dolar AS sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4 persen atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini kurang lebih sama dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Lebih jauh lagi, kemiskinan tidak hanya berwajah tunggal, namun juga multidimensi. Indonesia memiliki catatan buruk dalam penyediaan berbagai fasilitas kebutuhan dasar. Indikator-indikator pembangunan sosial lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Angka kematian ibu di Indonesia dua kali lebih tinggi dari Filipina dan lima kali lebih tinggi dari Vietnam. Hampir setengah penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Semua itu mengisyaratkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan gagal.

Disisi lain, Indonesia menghadapi perubahan dan tantangan ke depan yang semakin berat. Di dalam negeri, terjadi arus demokratisasi dan otonomi yang deras. Sedangkan dari luar negeri, arus globalisasi dan perdagangan bebas semakin tidak tertahankan. Tanpa perencanaan yang baik, Indonesia tidak akan mampu mengambil peluang dan mengantisipasi ancaman bagi pengentasan kemiskinan.

Islam dan kemiskinan

Di negeri ini, Islam sering mendapat citra negatif dari kemiskinan. Islam sering dilekatkan dengan kondisi kemiskinan umat-nya, bahkan sering dituding sebagai penyebab kemiskinan. Padahal Islam sebagai sebuah risalah paripurna dan ideologi hidup sangat memerhatikan masalah kemiskinan. Bahkan kemiskinan dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keimanan (QS 2: 268). Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15).

Dalam Islam, kepala keluarga memiliki memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya. Jika tidak mampu, maka kewajiban tersebut jatuh ke kerabat dekat. Jika tidak mampu juga, kewajiban tersebut jatuh ke negara. Dengan demikian Islam mendorong negara mengentaskan kemiskinan dengan cara memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (basic rights approach). Pendekatan inilah yang kini baru mulai diadopsi oleh Indonesia melalui Strategi Nasional Pengentasan Kemiskinan (SNPK). Islam juga memiliki berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program pengentasan kemiskinan. Pertama, Islam melarang riba dan mendorong kegiatan sektor riil untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pro-poor growth).

Minggu, 04 April 2010

MENGGAGAS JARING PENGAMAN RESPONSIF - Habis

Kedua, Islam mendorong penciptaan lapangan kerja yang luas. Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Sedemikian penting-nya bekerja hingga Islam menjadikan bekerja sebagai salah satu pilar terpenting kualitas ke-Islaman seseorang (QS 9:105). Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW memberi dua dirham kepada seorang laki-laki dan menyuruhnya agar makan dari satu dirham dan membeli kapak dari satu dirham sisanya sebagai modal agar ia bekerja. Tidak heran pula bila kemudian dalam lintasan sejarah Islam kita melihat perhatian yang besar dari pemerintah terhadap public works terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan penciptaan lapangan kerja.

Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman cukup baik dalam hal ini seperti dalam program IDT (inpres desa tertinggal) dan program padat karya. Program padat karya disamping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, juga akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program padat karya seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan memperluas coverage program dan mengurangi leakages.

Institusionalisasi program padat karya membuat program ini menjadi salah satu bentuk jaring pengaman responsif yang menjanjikan. Dengan membuatnya permanen, maka program padat karya secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Contoh klasik disini adalah Skema Jaminan Kerja di negara bagian Maharashtra, India. Skema ini ditujukan untuk mendukung pendapatan di daerah pedesaan dengan menyediakan pekerjaan pada tingkat upah rendah bagi siapapun yang menginginkannya. Program ini menurun pada masa panen dan meningkat pada masa paceklik. Mekanisme upah rendah menjadi automatic screen yang membuat program ini tepat sasaran. Program ini sebagian besar dibiayai oleh pajak dari penduduk kaya kota yang merasakan manfaat program ini berupa turunnya migrasi desa-kota.

Ketiga, Islam mendorong distribusi pendapatan dalam masyarakat. Islam memiliki mekanisme yang membuat kekayaan berputar tidak hanya dikalangan orang kaya. Instrument terpenting disini adalah zakat. Zakat memiliki berbagai keunggulan yang membuatnya menjadi jaring pengaman sosial yang responsif yaitu: (i) penggunaan zakat hanya untuk 8 golongan saja (ashnaf) yaitu fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil (QS 9:60).

Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor dan self-targeted; (ii) zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program jaminan sosial; (iii) zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengaman sosial dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Selain zakat, Islam juga memiliki instrumen lain seperti infaq, shadaqah, dan wakaf. Secara bersama-sama, semua instrument tersebut akan membuat distribusi pendapatan lebih merata setiap waktu. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari jaring pengaman sosial yang responsif.


Oleh: Yusuf Wibisono

Jumat, 02 April 2010

MENGGAGAS JARING PENGAMAN RESPONSIF - Dua

Islam dan Jaring Pengaman Responsif

Islam sebagai sistem kehidupan memiliki pandangan yang unik tentang sistem jaring pengaman sosial yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, pemikiran ekonom muslim, maupun praktek sejarah. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara (QS 9:60).

Islam memberikan kewajiban pada pemerintah, hanya setelah mendayagunakan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat. Perlindungan berlapis ini membuat sistem bekerja sangat responsif terhadap gejolak yang dialami kelompok miskin yang akan membuat mereka terhindar dari berbagai tragedi kemanusiaan akibat kemiskinan.

Dalam literatur sejarah pemikiran ekonomi Islam, kita mendapati pembahasan yang mendalam tentang jaring pengaman sosial. Ibn Hazm (994-1064 M) mencatat empat kebutuhan dasar penduduk yang wajib untuk dipenuhi oleh negara yaitu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) berargumen bahwa setiap orang harus dijamin standar hidup minimum-nya agar dapat menjalankan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa semua aktivitas pertanian, industri, dan komersial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, hukumnya adalah fardhu kifayah.

Praktek sejarah dalam pemerintahan Islam juga memberi kita pemahaman yang mendalam tentang berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program jaring pengaman sosial.

Pertama, Islam memandang bahwa anggaran negara adalah harta kaum muslim, bukan harta negara, apalagi harta para pejabat-nya. Implikasinya, anggaran negara tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat (pro-poor budget) dan dibelanjakan sesuai prinsip-prinsip dalam hukum Islam.

Sebagai misal, pada masa Khalifah Umar bin Khattab harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Bahkan, karena hidup sangat sederhana, Khalifah Umar sendiri pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya. Dengan prinsip ini, maka anggaran negara di dalam Islam menjadi sangat responsif dalam melindungi kelompok miskin.

Maka menjadi keprihatinan yang mendalam bagi kita melihat anggaran pemerintah negeri ini dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk membayar pokok dan bunga utang. Tidak terlihat upaya untuk menurunkan beban utang seraya pada saat yang sama melindungi kepentingan kelompok miskin.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono