Jumat, 02 April 2010

MENGGAGAS JARING PENGAMAN RESPONSIF - Dua

Islam dan Jaring Pengaman Responsif

Islam sebagai sistem kehidupan memiliki pandangan yang unik tentang sistem jaring pengaman sosial yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, pemikiran ekonom muslim, maupun praktek sejarah. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara (QS 9:60).

Islam memberikan kewajiban pada pemerintah, hanya setelah mendayagunakan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat. Perlindungan berlapis ini membuat sistem bekerja sangat responsif terhadap gejolak yang dialami kelompok miskin yang akan membuat mereka terhindar dari berbagai tragedi kemanusiaan akibat kemiskinan.

Dalam literatur sejarah pemikiran ekonomi Islam, kita mendapati pembahasan yang mendalam tentang jaring pengaman sosial. Ibn Hazm (994-1064 M) mencatat empat kebutuhan dasar penduduk yang wajib untuk dipenuhi oleh negara yaitu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) berargumen bahwa setiap orang harus dijamin standar hidup minimum-nya agar dapat menjalankan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa semua aktivitas pertanian, industri, dan komersial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, hukumnya adalah fardhu kifayah.

Praktek sejarah dalam pemerintahan Islam juga memberi kita pemahaman yang mendalam tentang berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program jaring pengaman sosial.

Pertama, Islam memandang bahwa anggaran negara adalah harta kaum muslim, bukan harta negara, apalagi harta para pejabat-nya. Implikasinya, anggaran negara tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat (pro-poor budget) dan dibelanjakan sesuai prinsip-prinsip dalam hukum Islam.

Sebagai misal, pada masa Khalifah Umar bin Khattab harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Bahkan, karena hidup sangat sederhana, Khalifah Umar sendiri pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya. Dengan prinsip ini, maka anggaran negara di dalam Islam menjadi sangat responsif dalam melindungi kelompok miskin.

Maka menjadi keprihatinan yang mendalam bagi kita melihat anggaran pemerintah negeri ini dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk membayar pokok dan bunga utang. Tidak terlihat upaya untuk menurunkan beban utang seraya pada saat yang sama melindungi kepentingan kelompok miskin.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar