Kegagalan pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat setidaknya memiliki dua implikasi yang sangat penting bagi masa depan reformasi di negeri ini. Dari segi sosial-ekonomi, rendahnya stimulus fiskal yang membuat tingkat pengangguran masih tinggi secara langsung akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat sehingga tujuan pengurangan angka kemiskinan akan semakin sulit dicapai. Pada gilirannya kemiskinan akan mudah sekali memicu berbagai disharmoni dan anarki sosial mulai dari kriminalitas hingga kerusuhan sosial, bahkan separatisme.
Dari segi politik, lambatnya pemulihan ekonomi akan memicu pragmatisme masyarakat untuk secara sederhana mempostulatkan bahwa rezim lama lebih baik dari rezim baru karena rezim baru terbukti gagal memberi kesejahteraan bagi rakyat. Hal ini setidaknya terekam dari hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga seperti CESDA-LP3ES (Mei 2003), DRI (Juli 2003), dan IFES (Agustus 2003), yang semuanya menunjukkan bahwa dukungan masyarakat pada partai yang kini berkuasa (PDIP), cenderung semakin menurun dan sebaliknya dukungan kepada the old ruling party (Partai Golkar) semakin menguat.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, membiarkan kemiskinan terlalu lama adalah sebuah kejahatan yang luar biasa karena, selain untuk alasan moral-sosial-ideologis diatas, hal itu sama artinya dengan mempersilakan kekuatan lama untuk mengkonsolidasikan diri menuju kursi kekuasaan kembali melalui pemilu 2004.
ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI
Mungkin salah satu kelemahan terbesar para pemimpin negeri ini adalah kemampuan abstraksi dan analisa yang lemah. Kelemahan ini adalah fatal karena yang menonjol kemudian adalah cara berfikir yang selalu linear, terlalu menyederhanakan masalah dan tidak mampu berfikir kreatif. Hal ini jelas terlihat dalam Inpres No. 5 Tahun 2003 tentang paket kebijakan ekonomi pasca IMF (white paper). Tidak ada sesuatu yang baru dalam white paper yang ditawarkan pemerintah ini. Paket kebijakan tersebut tidak lebih dari album kompilasi dari LOI-LOI sebelumnya yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan IMF.
Fokus kebijakan pemerintah dalam white paper adalah stabilisasi, bukan mendobrak kebekuan ekonomi. Program-program masih berkutat di seputar bagaimana mendongkrak kepercayaan pasar dengan tujuan akhir memdorong investasi dan arus modal masuk serta peningkatan ekspor seperti di masa lalu yang telah membantu transformasi perekonomian dari negara agragis terbelakang menjadi negara industri baru yang diperhitungkan. Program yang kemudian coba digulirkan adalah stabilisasi ekonomi makro, kebijakan investasi yang kondusif, berbagai deregulasi untuk revitalisasi sektor industri dan perdagangan, penegakan hukum, serta jaminan keamanan. Tidak ada yang “shocking” disini.
Orientasi kebijakan jelas terlihat masih berkiblat pada paradigma lama yang sangat mengandalkan sumber daya asing untuk menghela perekonomian. Stabilitas makro diharapkan akan menaikkan kepercayaan pasar. Peninjauan DNI (daftar negatif investasi), pengajuan RUU Penanaman Modal ke parlemen, dan pelayanan ijin satu atap, jelas ditujukan untuk mendorong masuknya investasi asing. Lebih jauh lagi, ketergantungan pemerintah terhadap sumber pembiayaan luar negeri tetap tidak berkurang walau hubungan dengan IMF akan segera berakhir pada Desember mendatang. Bahkan dalam RAPBN 2004, pemerintah menganggarkan penjualan obligasi internasional yang direncanakan berjumlah hingga US$ 1 miliar.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar