Senin, 19 April 2010

PEMULIHAN EKONOMI PASCA TRAGEDI BALI

Tragedi Bom di Bali beberapa waktu lalu menyisakan satu pertanyaan besar, apakah masih ada harapan bagi pemulihan ekonomi Indonesia? Tanpa tragedi Bali-pun, kinerja perekonomian Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Setelah berlalu lima tahun sejak di terpa badai krisis 1997, pemulihan ekonomi Indonesia nampak hanya jalan di tempat. Walau pertumbuhan ekonomi telah positif dan lebih baik dari kebanyakan negara tetangga, hal itu terjadi lebih karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga domestik, bukan karena kinerja pemerintah dalam memacu pertumbuhan investasi dan ekspor. Jika sekalipun pemerintah tidur saja, perekonomian tetap akan tumbuh oleh konsumsi domestik tersebut. Berbagai program penyesuaian dan struktural yang dilakukan atas rekomendasi IMF, tidak memperlihatkan hasil yang signifikan selain utang pemerintah yang semakin membengkak dan jatuhnya berbagai BUMN strategis ke tangan asing. Bahkan beberapa indikator terakhir justru mengindikasikan bahwa keadaan telah menjadi semakin buruk!

Data terakhir yang dikeluarkan oleh BKPM menunjukkan bahwa persetujuan investasi asing untuk delapan bulan pertama 2002 adalah US$ 3,55 milyar, turun 40 % dari US$ 5,79 milyar untuk periode yang sama pada 2001. Dan fakta ini akan menjadi lebih memprihatinkan bila melihat bahwa hanya sebagian kecil saja dari investasi asing yang disetujui itu yang telah di-realisasi. Buruknya kinerja Indonesia ini seolah mendapat pengesahan dengan di rilis-nya laporan UNCTAD dalam World Investment Report 2002 pada bulan September lalu, yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-3 terbawah di antara seluruh negara di dunia dalam hal menarik investor asing.

Semua fakta-fakta empiris ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita adalah ringkih. Terlebih lagi kini setelah kita dihadapkan pada Tragedi Bali, hampir bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin mengalami perlambatan. Lalu, kapan negeri ini bisa bangkit dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan lepas dari campur tangan IMF? Untuk ini, kita perlu melacak sumber-sumber pertumbuhan.


Sumber-Sumber Pertumbuhan

Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan lestari selama hampir tiga dekade sehingga pernah di juluki oleh World Bank (1993) sebagai “one of the shining ligths of the international economy”. Ada beberapa hal yang menjadi kunci pertumbuhan tersebut. Pertama, investasi pemerintah yang tinggi. Dengan didukung oleh pendapatan minyak dan lembaga donor internasional, Indonesia mampu mencatat pertumbuhan investasi yang mengesankan, terutama pada masa awal pembangunan. Namun kini, sumber-sumber investasi pemerintah nyaris kering semuanya. Jangankan untuk melakukan ekspansi fiskal, hanya untuk mempertahankan kesinambungan fiskal saja pemerintah sudah hampir kehabisan nafas. Dalam RAPBN 2003, hal ini jelas terlihat. Agenda paling mendesak untuk hal ini adalah pengurangan stok utang pemerintah yang menggunung, bukan sekedar rescheduling.

Kedua, iklim usaha yang “fair” dan predictable. Selama masa orde baru, investasi swasta baik asing maupun swasta berhasil digenjot naik oleh adanya kepastian dalam berusaha. Walaupun birokrasi orde baru penuh dengan jelaga KKN di setiap lini-nya, tetapi investor mendapat kepastian bahwa kontrak bisnis yang ditanda-tangani akan terlaksana. Ketika mereka membayar “suap” mereka pasti mendapatkan proyek yang mereka inginkan. Walaupun kotor, tetapi iklim usaha relatif “fair” dan karenanya menjadi predictable. Kepastian berusaha inilah yang menjadi kunci utama derasnya investasi asing pada masa itu. Hal ini jauh berbeda dengan sekarang. Dengan kualitas KKN yang sama -bahkan lebih tinggi-, kepastian usaha justru semakin buruk. Sikap pemerintah yang tidak tegas dalam masalah contract enforcement -seperti pada kasus Manulife misalnya- telah memicu ketidak-percayaan investor. Implementasi otonomi daerah yang menciptakan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, juga ikut memberi kontribusi yang tidak kecil pada ketidakpastian usaha. Ketidak-jelasan pemegang kewenangan, telah membingungkan investor. Walaupun mereka telah membayar suap bahkan dengan rantai birokrasi yang lebih panjang, tetapi izin usaha tetap tidak mereka peroleh. Maka selama tidak ada kejelasan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, otonomi hanya akan memperbesar ketidakpastian hukum dan menahan investor asing untuk masuk.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar