Pada 27 Februari 2006, pemerintah secara resmi Terhitung sejak 15 September 2003 yang lalu, pemerintah secara resmi memutuskan untuk keluar dari Extended Fund Facility (EFF) IMF dan sekaligus untuk pertama kalinya sejak krisis 1997 membuat program ekonomi-nya sendiri tanpa mandor asing seiring dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama Dengan IMF.
Paket kebijakan ekonomi tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda substansi isinya dari letter of intent (LOI). Secara gagah mungkin ini bisa disebut sebagai LOI dari, oleh dan dengan pengawasan pemerintah sendiri. Namun secara substansi, tidak ada yang “shocking” di dalam paket kebijakan ini. Paket kebijakan ini tidak lebih dari album kompilasi LOI-LOI yang telah dibuat sebelumnya antara pemerintah dan IMF. Bedanya kini, program menjadi lebih transparan dengan dicantumkannya sasaran waktu, output yang dihasilkan serta pelaksana dan penanggung jawab program.
Paket kebijakan ini dibuat dengan sasaran pokok stabilisasi ekonomi makro, restrukturisasi sektor keuangan, dan dinamisasi sektor riil dengan rentang kebijakan yang sangat luas, meliputi program konsolidasi fiskal, pemantapan neraca pembayaran (program stabilisasi ekonomi makro), pembuatan jaring pengaman sektor keuangan, restrukturisasi dan penyehatan perbankan, penanganan tindak pidana pencucian uang, kebijakan pasar modal, asuransi, dan dana pensiun, peningkatan kinerja BUMN, pengembangan profesi akuntan publik (program reformasi sektor keuangan), kebijakan investasi, industri dan perdagangan, kebijakan UKM dan Koperasi, kebijakan perpajakan dan kepabeanan, kebijakan reformasi hukum, kebijakan transportasi dan telekomunikasi, kebijakan energi, kelistrikan dan sumber daya air, kebijakan keamanan, ketertiban dan pelayanan masyarakat, kebijakan ketenagakerjaan dan penanggulangan kemiskinan (program revitalisasi sektor riil). Sebuah paket kebijakan ekonomi yang sangat ambisius dan komprehensif mengingat paket ini adalah kebijakan jangka pendek, dan jangka menengah untuk beberapa program.
Program reformasi yang seperti ini jelas tidak menggambarkan prioritas kebijakan sebagaimana layaknya sebuah negara yang sedang berusaha untuk keluar dari krisis dengan segala masalah dan kendala yang dihadapinya. Paket kebijakan seperti ini ibarat memutar jarum sejarah ke belakang seperti di awal krisis 1997. Saat itu, alih-alih berfokus pada beberapa variabel kunci yang dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar, pemerintah justru menerapkan reformasi ekonomi dengan pendekatan “scatter-gun”. Dan hasilnya kita semua sudah melihatnya; lima tahun terpuruk tanpa perbaikan yang berarti dalam kesejahteraan masyarakat.
Kita tidak belajar dari pengalaman tersebut; agenda reformasi yang baik tidak akan banyak berguna jika dilakukan tidak pada waktu yang tepat dan pemerintah tidak memiliki kesanggupan untuk melakukannya. Agenda reformasi adalah perspektif perubahan dalam kerangka aturan main negara bersangkutan yang secara rasional dapat di-implementasi-kan, dengan telah mempertimbangkan kapasitas pemerintah dan proses politik yang menyertai-nya. Dalam situasi negara seperti sekarang ini, seberapa besar peluang kebijakan yang super komprehensif itu dapat diterapkan? Dengan mudah kita akan segera pesimis dan memprediksi bahwa kegagalan akan tidak terelakkan; kebijakan yang terlalu banyak dikombinasikan dengan politisi partisan yang egois, dan birokrasi yang lemah dan korup, tidak akan mampu mengimplementasikan agenda-agenda ambisius pemerintah tersebut.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar