Tampilkan postingan dengan label investasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label investasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Desember 2011

Saham VS Obligasi sebagai Opsi Investasi

Apakah anda bosan menjadi seorang karyawan? Mempunyai modal lebih namun bingung bagaimana membuatnya menjadi produktif? Maka investasi merupakan salah satu jalan yang mungkin saat ini akan terpintas di pikiran anda.

Pergeseran mode dalam dunia bisnis sekarang dimana pada sebelumnya masyarakat memiliki mindset sebagai pekerja (worker) berusaha mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak sehingga kendala minimnya lapangan pekerjaaan semakin menjadi-jadi, lalu bergeser ke mode sebagai pencipta lapangan pekerjaan dimana anda telah melihat di seluruh antero nusantara digemakan gerakan entrepreneurship (pencipta lapangan pekerjaan), lalu sekarang mulai bergeser sedikit demi sedikit menuju step selanjutnya yaitu mindset seorang investor dimana masyarakat semua berupaya untuk mencari instrument-instrument investasi sebagai opsi mereka meningkatkan produktivitas modal yang mereka miliki.

Investasi merupakan langkah penanaman modal di suatu proyek, perusahaan, atau instrument investasi lainnya yang berfungsi untuk meningkatkan aktiva / untuk memperoleh keuntungan. Bentuk dari investasi sendiri dibagi menjadi 2 macam; jangka pendek dan jangka panjang, serta ada investasi beresiko tinggi dan resiko rendah. Berikut kita akan membahas 2 macam instrument investasi yang umum dipergunakan oleh para investor yaitu Saham dan Obligasi.

Saham merupakan bentuk keikutsertaan investor dalam sebuah perusahaan dengan berperan sebagai pemberi modal (Shareholder), dimana sistem dari saham ini sendiri adalah perusahaan yang membutuhkan suntikan modal akan menerbitkan saham dalam bentuk per-lembar, yang dijual hanya sekian persen dari kepemilikikan modal perusahaan. Saham memberikan return berupa dividen yang pada umumnya akan dibayarkan sekali dalam setahun dan berupa capital gain (naiknya harga saham yang anda beli di pasar). Dimana dividen dipengaruhi oleh tingkat laba yang diperoleh perusahaan sedangkan capital gain akan dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan perusahaan.

Obligasi
merupakan salah satu bentuk instrument berupa surat utang (Bond). Obligasi sendiri dapat diterbitkan baik oleh perusahaann milik Pemerintah (BUMN) maupun perusahaan swasta/pribadi. Berinvestasi dengan menggunakan instrument obligasi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan berinvestasi dalam deposito bank, dalam pembelian obligasi anda hanya akan mendapatkan bunga yang tetap secara berkala, hingga pada waktu jatuh tempo pembayaran penerbit obligasi tersebut harus membayar sesuai dengan nilai dari obligasi tersebut beserta seluruh bunga yang harus diberikan.

Saham VS Obligasi

Saham sebagai instrument investasi memiliki resiko yang jauh lebih tinggi daripada obligasi, dikarenakan bahwa nilai dari saham memiliki tingkat fluktuatif yang sangat tinggi (saham pada jam pembukaan bursa efek dengan jam penutupan memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk mempunyai nilai yang berbeda) disebabkan oleh karena selain dipengaruhi oleh perusahaan sendiri namun juga banyak faktor pasar lainnya yang menentukan fluktuasi dari nilai saham itu sendiri, sementara obligasi memiliki tingkat fluktuatif yang relatif rendah karena return yang diberikan juga tidak terlalu tinggi, berbeda dengan saham yang memiliki tingkat return yang relatif tinggi.

Keuntungan anda berinvestasi dalam saham dan obligasi:
  • Jika pasar berjalan dengan baik, saham memiliki potensi untuk meningkat baik secara nilai (capital gain) maupun secara nilai dividen yang dibagikan, berbeda dengan obligasi yang nilai dari return yang diberikan akan tetap. Hal ini terjadi dikarenakan saham mendapat return berupa persentase laba sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki, sehingga dalam perhitungan apabila tingkat laba meningkat maka presentase dividen juga akan meningkat, sementara obligasi mempunyai angka pasti tingkat pengembalian.
  • Sebagai investor individu, berinvestasi di saham jauh lebih terjangkau mengingat harga per lembar saham masih jauh lebih rendah daripada sebuah surat utang / obligasi yang rata-rata bernilai milyaran rupiah.
  • Pada kondisi pasar yang sulit, saham dapat memberikan tingkat kerugian yang cukup tinggi daripada obligasi, dengan semakin menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi maka dividen yang akan didapatkan oleh investor juga akan menurun dengan drastis begitu pula dengan jatuhnya nilai perusahaan di pasar juga akan berpengaruh besar terhadap capital gain saham yang anda pegang. Sementara obligasi, dengan adanya patokan tingkat pengembalian dari awal, tingkat bunga /return yang dijanjikan tidak akan berubah.


Berinvestasi baik secara term, tujuan, maupun model/tipikal dari masing-masing investor akan sangat berbeda, maka penting terlebih dahulu bagi anda untuk mengetahui kriteria investor seperti apakah anda, apakah anda tipe yang risk taker atau tipe investor yang suka “bermain aman”-kah anda, namun perlu anda ingat prinsip ekonomi High-Risk = High Return, begitu pula sebaliknya.

Oleh : Kevin Wahyono

Rabu, 14 April 2010

PAKET IKLIM INVESTASI DAN ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI - Empat

Tidak ada yang salah dengan hal ini. Tetapi persoalannya adalah seberapa efektif dan seberapa cepat hal tersebut dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan? Persoalan investasi dan ekspor bukanlah agenda jangka pendek. Padahal kita semua sadar bahwa tahun depan akan penuh dengan ketidakpastian, terutama terkait dengan pelaksanaan pemilu. Pada saat yang sama tantangan eksternal yang dihadapi tidak berkurang dengan iklim persaingan global yang semakin berat. Dan yang lebih krusial lagi adalah kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan agenda kebijakan yang komprehensif itu.

Selain sensitif dengan gejolak politik dan keamanan domestik, bertumpu ke luar negeri juga tidak selalu memberi hasil yang memuaskan. FDI di Indonesia tidak memberi kontribusi yang siginifikan dalam perekonomian yang tercermin pada pangsanya yang kecil dalam pembentukan modal, penyerapan tenaga kerja yang sangat rendah, ketergantungan yang tinggi pada bahan baku impor, tidak menyebabkan terjadinya transfer teknologi, serta kontribusi pada penerimaan pajak yang rendah. Lebih jauh lagi, FDI memberi tekanan bagi neraca pembayaran karena terus meningkatnya arus modal keluar sebagai akibat dari meningkatnya devisa keluar yang berhubungan dengan aktivitas FDI seperti pembayaran atas ‘business services’ (termasuk royalti dan lisensi serta ‘management fee’), pembayaran bunga dari pinjaman investasi masa lalu, pembagian keuntungan, dll (UNIDO, 2000).

Maka boleh jadi usaha besar dan kerja keras pemerintah selama ini untuk meraih kepercayaan pasar dan mengundang investor asing adalah sangat manipulatif. Pekerjaan yang sangat menguras energi dan biaya, tetapi hanya memberikan fatamorgana.

Lalu, apa strategi pemulihan ekonomi Indonesia ke depan? Beberapa alternatif pemikiran yang muncul bermuara pada satu strategi besar; beralih dari foreign-driven growth ke domestic-driven growth. Satu pemikiran terpenting disini adalah bagaimana mengeksploitasi potensi pasar domestik yang besar. Produksi potensial suatu perekonomian akan tergantung pada besarnya pasar karena besarnya pasar merupakan indikasi seberapa jauh pengaruh permintaan domestik terhadap struktur produksi nasional suatu negara. Besarnya potensi pasar itu sendiri ditentukan oleh tingkat pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan faktor sosio-kultural seperti agama, budaya, adat, selera, dll. Dengan demikian jelaslah bahwa jumlah penduduk ikut mempengaruhi struktur produksi domestik suatu negara.

Sejak lama, terdapat banyak literatur yang menunjukkan pentingnya pasar domestik sebagai tempat penyerapan produk industri domestik. Bukti terbaik adalah studi Chenery et. al. (1975, 1986, 1989) yang menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan output yang terpenting adalah pertumbuhan dalam permintaan domestik. Di negara-negara dengan populasi lebih dari 20 juta, pertumbuhan permintaan domestik menyumbang 72-74 persen dari kenaikan dalam output industri domestik. Bahkan di negara dengan pasar domestik yang kecil seperti Korea, ekspansi permintaan domestik menyumbang 53 persen dari ekspansi dalam output industri domestik.

Pengalaman ini kembali dibuktikan Korea Selatan pasca 1997. Setelah krisis 1997, Korea Selatan merubah arah perekonomian secara drastis dengan mendayagunakan seluruh sumber daya domestik untuk keluar dari krisis. Dengan kombinasi permintaan domestik, industri kecil dan menengah serta para pekerja yang berketrampilan tinggi, Korea sukses mendorong perekonomian menuju kemakmuran hanya dalam empat tahun sejak krisis 1997. Malaysia pasca krisis juga menerapkan strategi pendayagunaan sumber daya domestik ini untuk bangkit dari krisis.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono

Minggu, 04 April 2010

PAKET IKLIM INVESTASI DAN ARAH BARU PEMULIHAN EKONOMI

Pada 27 Februari 2006, pemerintah secara resmi Terhitung sejak 15 September 2003 yang lalu, pemerintah secara resmi memutuskan untuk keluar dari Extended Fund Facility (EFF) IMF dan sekaligus untuk pertama kalinya sejak krisis 1997 membuat program ekonomi-nya sendiri tanpa mandor asing seiring dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama Dengan IMF.

Paket kebijakan ekonomi tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda substansi isinya dari letter of intent (LOI). Secara gagah mungkin ini bisa disebut sebagai LOI dari, oleh dan dengan pengawasan pemerintah sendiri. Namun secara substansi, tidak ada yang “shocking” di dalam paket kebijakan ini. Paket kebijakan ini tidak lebih dari album kompilasi LOI-LOI yang telah dibuat sebelumnya antara pemerintah dan IMF. Bedanya kini, program menjadi lebih transparan dengan dicantumkannya sasaran waktu, output yang dihasilkan serta pelaksana dan penanggung jawab program.

Paket kebijakan ini dibuat dengan sasaran pokok stabilisasi ekonomi makro, restrukturisasi sektor keuangan, dan dinamisasi sektor riil dengan rentang kebijakan yang sangat luas, meliputi program konsolidasi fiskal, pemantapan neraca pembayaran (program stabilisasi ekonomi makro), pembuatan jaring pengaman sektor keuangan, restrukturisasi dan penyehatan perbankan, penanganan tindak pidana pencucian uang, kebijakan pasar modal, asuransi, dan dana pensiun, peningkatan kinerja BUMN, pengembangan profesi akuntan publik (program reformasi sektor keuangan), kebijakan investasi, industri dan perdagangan, kebijakan UKM dan Koperasi, kebijakan perpajakan dan kepabeanan, kebijakan reformasi hukum, kebijakan transportasi dan telekomunikasi, kebijakan energi, kelistrikan dan sumber daya air, kebijakan keamanan, ketertiban dan pelayanan masyarakat, kebijakan ketenagakerjaan dan penanggulangan kemiskinan (program revitalisasi sektor riil). Sebuah paket kebijakan ekonomi yang sangat ambisius dan komprehensif mengingat paket ini adalah kebijakan jangka pendek, dan jangka menengah untuk beberapa program.

Program reformasi yang seperti ini jelas tidak menggambarkan prioritas kebijakan sebagaimana layaknya sebuah negara yang sedang berusaha untuk keluar dari krisis dengan segala masalah dan kendala yang dihadapinya. Paket kebijakan seperti ini ibarat memutar jarum sejarah ke belakang seperti di awal krisis 1997. Saat itu, alih-alih berfokus pada beberapa variabel kunci yang dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar, pemerintah justru menerapkan reformasi ekonomi dengan pendekatan “scatter-gun”. Dan hasilnya kita semua sudah melihatnya; lima tahun terpuruk tanpa perbaikan yang berarti dalam kesejahteraan masyarakat.

Kita tidak belajar dari pengalaman tersebut; agenda reformasi yang baik tidak akan banyak berguna jika dilakukan tidak pada waktu yang tepat dan pemerintah tidak memiliki kesanggupan untuk melakukannya. Agenda reformasi adalah perspektif perubahan dalam kerangka aturan main negara bersangkutan yang secara rasional dapat di-implementasi-kan, dengan telah mempertimbangkan kapasitas pemerintah dan proses politik yang menyertai-nya. Dalam situasi negara seperti sekarang ini, seberapa besar peluang kebijakan yang super komprehensif itu dapat diterapkan? Dengan mudah kita akan segera pesimis dan memprediksi bahwa kegagalan akan tidak terelakkan; kebijakan yang terlalu banyak dikombinasikan dengan politisi partisan yang egois, dan birokrasi yang lemah dan korup, tidak akan mampu mengimplementasikan agenda-agenda ambisius pemerintah tersebut.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono