Akuntabilitas anggaran publik kembali mendapat sorotan. Kali ini Presiden SBY langsung yang menyinggung hal ini terkait dengan banyaknya kasus inefisiensi anggaran di daerah-daerah (Republika, 29 Maret 2006). Rendahnya akuntabilitas anggaran ini sebenarnya tidak hanya milik pemerintah daerah saja. Pemerintah pusat juga semestinya sering-sering berkaca sehingga sadar bahwa akuntabilitas anggaran mereka juga sama rendah-nya. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir, PAN (Perhitungan Anggaran Negara) secara berturut-turut selalu mendapat predikat “disclaimer” dari BPK. Hal ini menjadi ironis mengingat transparansi dan akuntabilitas anggaran publik adalah kunci utama dalam setiap upaya pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance.
Akuntabilitas anggaran publik setidaknya ditandai oleh dua hal yaitu bebas pemborosan dan bebas korupsi. Pemborosan anggaran publik selama ini sering muncul dalam berbagai bentuk antara lain: (i) pengeluaran-pengeluaran negara yang berada pada tingkat yang tidak wajar; (ii) kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat, seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas tujuannya; dan (iii) duplikasi kegiatan baik yang bersifat lintas program maupun lintas instansi.
Sementara itu korupsi anggaran hingga kini masih merajalela untuk dua alasan utama yaitu: (i) tindak lanjut yang sangat rendah atas hasil audit BPK baik terhadap APBN, APBD ataupun BUMN/BUMD; dan (ii) lemahnya penegakan hukum atas penyalahgunaan dana publik.
Dalam kaitan inilah, peranan BPK yang telah diberi amanat konstitusi sesuai amandemen ke-tiga UUD 1945 pasal 23E sebagai satu-satunya Supreme Audit Institution (pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara) menjadi sangat penting untuk tercipta-nya tranparansi dan akuntabilitas anggaran pada semua instansi publik yang menggunakan uang negara. Selain itu BPK juga mengemban tugas berat dalam pemberantasan korupsi. Sesuai pasal 3 UU No. 5 tahun 1973 tentang BPK, berbagai temuan penyimpangan/persoalan pidana dalam keuangan negara akan dilaporkan kepada Pemerintah, baik ke Kejakgung dan atau Polri. Tidak berlebihan bila kemudian BPK menjadi tumpuan harapan dan garda terdepan dalam program pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam keuangan negara.
Malangnya, harapan besar terhadap BPK ini berbenturan dengan kelemahan-kelemahan struktural yang selama ini melingkupi BPK. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat empat agenda utama yang harus dirangkum oleh RUU tentang BPK yang kini tengah digodok DPR agar dapat mendorong kinerja BPK.
Pertama, menghapus peraturan perundang-undangan yang menghambat kerja BPK. Walau telah mendapat landasan hukum yang kuat dari konsitusi dan UU, namun sejumlah UU secara nyata telah membatasi ruang gerak BPK dalam melakukan pemeriksaan sehingga mengurangi transparansi fiskal dan akuntabilitas keuangan negara di luar APBN. UU itu antara lain adalah UU yang mengatur tentang Pasar Modal, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak, dan Perbankan khususnya tentang kerahasiaan bank.
Sebagai misal, Pasal 68 yo Pasal 64 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa hanya akuntan yang memperoleh izin Menteri Keuangan dan terdaftar di Bapepam yang diperbolehkan memeriksa laporan keuangan emiten, termasuk perusahaan negara yang bersifat Perseroan Terbuka. Sementara itu Pasal 52 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah membuat BPK tidak dapat memeriksa yayasan-yayasan yang terkait dengan Instansi Pemerintah baik sipil maupun militer. Banyak terdapat kasus dimana yayasan-yayasan, terutama yang terkait dengan militer, menolak untuk diaudit oleh BPK.
Kedua, menghilangkan duplikasi pemeriksaan. Konstitusi secara jelas telah mengamanatkan bahwa BPK adalah satu-satunya auditor eksternal untuk keuangan negara. Hal ini harus dipertegas sehingga tidak ada lagi pemeriksaan dilakukan oleh BPKP atau bahkan oleh auditor swasta. Lebih buruk lagi, auditor eksternal selain BPK seringkali tidak mempergunakan Standar Audit Pemerintah (SAP). Dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan, Pemeriksaan Intern hanya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal di lingkungan Departemen, Inspektorat di lingkungan LPND, Bawasda di lingkungan Provinsi, Kabupaten dan kota, serta oleh SPI BUMN dan BUMD yang bersangkutan, sedangkan Pemeriksaan Ekstern hanya dilakukan oleh BPK.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar