Dalam hal ini, perlu juga ditegaskan tentang peleburan BPKP ke dalam BPK. Keberadaan BPKP selama ini telah menimbulkan duplikasi fungsi terutama antara BPKP dan BPK serta antara BPKP dan Inspektorat Jenderal. Peleburan BPKP ke dalam BPK selain akan menghilangkan duplikasi dan inefisiensi dalam pemeriksaan, juga akan memperkuat jajaran BPK yang selama ini memiliki keterbatasan sumber daya dan keahlian. Dengan SDM yang lebih kuat, maka BPK dapat memperluas cakupan pemeriksaan serta memperdalam kualitas dan intensitas pemeriksaan sesuai UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sehingga laporan pemeriksaan BPK ke depan tidak lagi hanya berupa audit finansial umum, namun juga akan dilengkapi dengan audit kinerja, audit forensik (forensic audit), dan audit kejahatan (fraud audit).
Ketiga, memantapkan independensi BPK. Independensi BPK ini semestinya mendapat perhatian yang memadai karena akan menjadi basis bagi efektivitas dan kualitas pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Selama ini BPK tidak independen dalam mengatur struktur organisasinya sendiri dimana pengaturan personel BPK harus tunduk pada pengaturan yang ketat oleh Menneg PAN. BPK juga tidak independen dalam anggaran dimana BPK mengajukan anggaran ke Departemen Keuangan. Semestinya anggaran BPK bersumber langsung dari DPR, bukan dari pemerintah apalagi dari auditee.
Terkait hal ini, BPK juga harus mendapat landasan hukum untuk independensi legislasi yaitu BPK berwenang mengeluarkan peraturan audit keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah kantor akuntan publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan pembukuan sektor negara serta menilai hasil kerjanya. Hal ini penting karena BPK tidak akan mungkin mampu memeriksa seluruh keuangan negara sehingga BPK harus melimpahkan sebagian tugas tersebut ke KAP. Dititik inilah diperlukan standardisasi peraturan pemeriksaan untuk keuangan negara.
Keempat, tindak lanjut atas temuan BPK. Selama ini tindak lanjut atas temuan BPK sangat rendah. Walau mekanisme baku untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK baik oleh DPR, BPK, dan Instansi terkait telah ditegaskan dalam Pasal 20 UU No. 15/2004, namun pejabat yang tidak menindaklanjuti temuan BPK hanya diancam sanksi administratif kepegawaian saja. Tidak heran bila kemudian dari waktu ke waktu hasil pemeriksaan BPK menjadi mubazir karena rendahnya tindak lajut terhadap hasil temuan BPK.
Lebih jauh lagi publik sering tidak mengetahui temuan BPK ini karena BPK tidak memiliki wewenang mempublikasi hasil pemeriksaan kepada publik. BPK selama ini begitu tertutup dan ekslusif sehingga menjadi lahan subur korupsi. Auditor dilarang keras untuk mengungkapkan proses pemeriksaan ke publik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penyusunan laporan. Di area tertutup inilah auditor “hitam” sering bermain dengan memperjualbelikan proses pemeriksaan, bahkan sejak tahap perencanaan. Dalam menempatkan obyek pemeriksaan misal-nya, sudah ditentukan sejak awal bagian mana yang boleh diperiksa dan mana yang tidak.
Terkait hal ini BPK perlu memiliki kewenangan untuk mempublikasikan hasil pemeriksaan ke publik. Laporan pemeriksaan BPK juga semestinya dibuat dalam format yang jauh lebih sederhana daripada format baku selama ini. Dengan demikian pengawasan publik akan berjalan sehingga tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan BPK akan meningkat. Selain itu, selama ini jika BPK menemui kasus korupsi, temuan BPK seringkali berhenti di Kejaksaan atau Kepolisian. Disinilah kemudian publikasi temuan BPK kepada publik menjadi semakin penting dan relevan.
Oleh: Yusuf Wibisono
Tampilkan postingan dengan label akuntabilitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label akuntabilitas. Tampilkan semua postingan
Kamis, 15 April 2010
BPK DAN AKUNTABILITAS ANGGARAN PUBLIK
Akuntabilitas anggaran publik kembali mendapat sorotan. Kali ini Presiden SBY langsung yang menyinggung hal ini terkait dengan banyaknya kasus inefisiensi anggaran di daerah-daerah (Republika, 29 Maret 2006). Rendahnya akuntabilitas anggaran ini sebenarnya tidak hanya milik pemerintah daerah saja. Pemerintah pusat juga semestinya sering-sering berkaca sehingga sadar bahwa akuntabilitas anggaran mereka juga sama rendah-nya. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir, PAN (Perhitungan Anggaran Negara) secara berturut-turut selalu mendapat predikat “disclaimer” dari BPK. Hal ini menjadi ironis mengingat transparansi dan akuntabilitas anggaran publik adalah kunci utama dalam setiap upaya pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance.
Akuntabilitas anggaran publik setidaknya ditandai oleh dua hal yaitu bebas pemborosan dan bebas korupsi. Pemborosan anggaran publik selama ini sering muncul dalam berbagai bentuk antara lain: (i) pengeluaran-pengeluaran negara yang berada pada tingkat yang tidak wajar; (ii) kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat, seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas tujuannya; dan (iii) duplikasi kegiatan baik yang bersifat lintas program maupun lintas instansi.
Sementara itu korupsi anggaran hingga kini masih merajalela untuk dua alasan utama yaitu: (i) tindak lanjut yang sangat rendah atas hasil audit BPK baik terhadap APBN, APBD ataupun BUMN/BUMD; dan (ii) lemahnya penegakan hukum atas penyalahgunaan dana publik.
Dalam kaitan inilah, peranan BPK yang telah diberi amanat konstitusi sesuai amandemen ke-tiga UUD 1945 pasal 23E sebagai satu-satunya Supreme Audit Institution (pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara) menjadi sangat penting untuk tercipta-nya tranparansi dan akuntabilitas anggaran pada semua instansi publik yang menggunakan uang negara. Selain itu BPK juga mengemban tugas berat dalam pemberantasan korupsi. Sesuai pasal 3 UU No. 5 tahun 1973 tentang BPK, berbagai temuan penyimpangan/persoalan pidana dalam keuangan negara akan dilaporkan kepada Pemerintah, baik ke Kejakgung dan atau Polri. Tidak berlebihan bila kemudian BPK menjadi tumpuan harapan dan garda terdepan dalam program pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam keuangan negara.
Malangnya, harapan besar terhadap BPK ini berbenturan dengan kelemahan-kelemahan struktural yang selama ini melingkupi BPK. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat empat agenda utama yang harus dirangkum oleh RUU tentang BPK yang kini tengah digodok DPR agar dapat mendorong kinerja BPK.
Pertama, menghapus peraturan perundang-undangan yang menghambat kerja BPK. Walau telah mendapat landasan hukum yang kuat dari konsitusi dan UU, namun sejumlah UU secara nyata telah membatasi ruang gerak BPK dalam melakukan pemeriksaan sehingga mengurangi transparansi fiskal dan akuntabilitas keuangan negara di luar APBN. UU itu antara lain adalah UU yang mengatur tentang Pasar Modal, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak, dan Perbankan khususnya tentang kerahasiaan bank.
Sebagai misal, Pasal 68 yo Pasal 64 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa hanya akuntan yang memperoleh izin Menteri Keuangan dan terdaftar di Bapepam yang diperbolehkan memeriksa laporan keuangan emiten, termasuk perusahaan negara yang bersifat Perseroan Terbuka. Sementara itu Pasal 52 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah membuat BPK tidak dapat memeriksa yayasan-yayasan yang terkait dengan Instansi Pemerintah baik sipil maupun militer. Banyak terdapat kasus dimana yayasan-yayasan, terutama yang terkait dengan militer, menolak untuk diaudit oleh BPK.
Kedua, menghilangkan duplikasi pemeriksaan. Konstitusi secara jelas telah mengamanatkan bahwa BPK adalah satu-satunya auditor eksternal untuk keuangan negara. Hal ini harus dipertegas sehingga tidak ada lagi pemeriksaan dilakukan oleh BPKP atau bahkan oleh auditor swasta. Lebih buruk lagi, auditor eksternal selain BPK seringkali tidak mempergunakan Standar Audit Pemerintah (SAP). Dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan, Pemeriksaan Intern hanya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal di lingkungan Departemen, Inspektorat di lingkungan LPND, Bawasda di lingkungan Provinsi, Kabupaten dan kota, serta oleh SPI BUMN dan BUMD yang bersangkutan, sedangkan Pemeriksaan Ekstern hanya dilakukan oleh BPK.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Akuntabilitas anggaran publik setidaknya ditandai oleh dua hal yaitu bebas pemborosan dan bebas korupsi. Pemborosan anggaran publik selama ini sering muncul dalam berbagai bentuk antara lain: (i) pengeluaran-pengeluaran negara yang berada pada tingkat yang tidak wajar; (ii) kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat, seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas tujuannya; dan (iii) duplikasi kegiatan baik yang bersifat lintas program maupun lintas instansi.
Sementara itu korupsi anggaran hingga kini masih merajalela untuk dua alasan utama yaitu: (i) tindak lanjut yang sangat rendah atas hasil audit BPK baik terhadap APBN, APBD ataupun BUMN/BUMD; dan (ii) lemahnya penegakan hukum atas penyalahgunaan dana publik.
Dalam kaitan inilah, peranan BPK yang telah diberi amanat konstitusi sesuai amandemen ke-tiga UUD 1945 pasal 23E sebagai satu-satunya Supreme Audit Institution (pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara) menjadi sangat penting untuk tercipta-nya tranparansi dan akuntabilitas anggaran pada semua instansi publik yang menggunakan uang negara. Selain itu BPK juga mengemban tugas berat dalam pemberantasan korupsi. Sesuai pasal 3 UU No. 5 tahun 1973 tentang BPK, berbagai temuan penyimpangan/persoalan pidana dalam keuangan negara akan dilaporkan kepada Pemerintah, baik ke Kejakgung dan atau Polri. Tidak berlebihan bila kemudian BPK menjadi tumpuan harapan dan garda terdepan dalam program pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam keuangan negara.
Malangnya, harapan besar terhadap BPK ini berbenturan dengan kelemahan-kelemahan struktural yang selama ini melingkupi BPK. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat empat agenda utama yang harus dirangkum oleh RUU tentang BPK yang kini tengah digodok DPR agar dapat mendorong kinerja BPK.
Pertama, menghapus peraturan perundang-undangan yang menghambat kerja BPK. Walau telah mendapat landasan hukum yang kuat dari konsitusi dan UU, namun sejumlah UU secara nyata telah membatasi ruang gerak BPK dalam melakukan pemeriksaan sehingga mengurangi transparansi fiskal dan akuntabilitas keuangan negara di luar APBN. UU itu antara lain adalah UU yang mengatur tentang Pasar Modal, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak, dan Perbankan khususnya tentang kerahasiaan bank.
Sebagai misal, Pasal 68 yo Pasal 64 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa hanya akuntan yang memperoleh izin Menteri Keuangan dan terdaftar di Bapepam yang diperbolehkan memeriksa laporan keuangan emiten, termasuk perusahaan negara yang bersifat Perseroan Terbuka. Sementara itu Pasal 52 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah membuat BPK tidak dapat memeriksa yayasan-yayasan yang terkait dengan Instansi Pemerintah baik sipil maupun militer. Banyak terdapat kasus dimana yayasan-yayasan, terutama yang terkait dengan militer, menolak untuk diaudit oleh BPK.
Kedua, menghilangkan duplikasi pemeriksaan. Konstitusi secara jelas telah mengamanatkan bahwa BPK adalah satu-satunya auditor eksternal untuk keuangan negara. Hal ini harus dipertegas sehingga tidak ada lagi pemeriksaan dilakukan oleh BPKP atau bahkan oleh auditor swasta. Lebih buruk lagi, auditor eksternal selain BPK seringkali tidak mempergunakan Standar Audit Pemerintah (SAP). Dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan, Pemeriksaan Intern hanya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal di lingkungan Departemen, Inspektorat di lingkungan LPND, Bawasda di lingkungan Provinsi, Kabupaten dan kota, serta oleh SPI BUMN dan BUMD yang bersangkutan, sedangkan Pemeriksaan Ekstern hanya dilakukan oleh BPK.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Label:
akuntabilitas,
anggaran publik,
bpk,
duplikasi pemeriksaan,
ekonomi,
inefisiensi anggaran,
kerahasiaan bank,
korupsi,
pemborosan,
supreme audit institution,
transparansi,
umum,
yusuf wibisono
Langganan:
Postingan (Atom)