DAU yang ditetapkan dari celah fiskal juga masih mengandung beberapa masalah, walau sudah terdapat perbaikan. Masalah terbesar disini adalah masih belum tersedianya metode untuk mengestimasi “kebutuhan fiskal” daerah. Ketiadaan hal ini membuat “kebutuhan fiskal” kembali diestimasi oleh beberapa variabel yang dianggap relevan yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), PDRB per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tiga variabel pertama adalah sama dengan di UU lama, sementara variabel kemiskinan hilang dan digantikan dua variabel terakhir.
Metode ini –sebagaimana di UU lama- dipastikan tidak akan mampu menangkap secara sempurna kebutuhan setiap daerah. Sebagai misal, kebutuhan daerah yang memiliki garis pantai yang panjang, jelas akan jauh berbeda dari daerah dengan wilayah berupa daratan. Daerah-daerah juga memiliki kebutuhan khas yang memunculkan kebutuhan dana yang berbeda-beda. Daerah-daerah kering misalnya -terlepas dari jumlah penduduk, luas wilayah, dan IKK- membutuhkan dana yang besar untuk penyediaan air bersih baik untuk kebutuhan rumah tangga, industri, maupun jasa.
Hal paling krusial disini adalah bagaimana menutup kebutuhan fiskal yang tidak tertangkap oleh variabel-variabel diatas dan kebutuhan fiskal khas daerah. Hal ini penting agar tujuan pemerataan tercapai. Semua penduduk di setiap daerah harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur, perlindungan lingkungan, keamanan, dsb. Disini peranan DAK menjadi sangat penting, terlebih dengan telah dihapuskannya Dana Darurat oleh UU baru ini. Terobosan penting dalam UU baru ini adalah memperkenalkan sistem selektif untuk DAK (pasal 40) dimana penerima DAK diutamakan untuk daerah dengan kemampuan fiskal yang rendah. Sayangnya masih belum ada aturan tegas tentang penggunaan DAK sebagai instrument untuk mempromosikan prioritas nasional di tingkat lokal. Lebih disayangkan lagi, belum ada ketentuan jumlah minimum DAK sebagaimana halnya DAU. Tanpa ketentuan ini dikhawatirkan jumlah DAK akan sangat minimal seperti yang selama ini berjalan.
Perbaikan paling berarti dalam hal DAU dicapai dengan dieliminirnya masalah “hold harmless condition” dalam alokasi DAU. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 32, bahkan daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dimungkinkan tidak menerima DAU sama sekali. Masalah terbesar disini adalah bagaimana mempertahankan konsistensi aturan ini dalam implementasinya. Sebagaimana kita ketahui, tekanan dari daerah-daerah kaya adalah sangat besar sehingga di masa lalu pemerintah tidak berdaya meski hanya untuk sedikit mengurangi DAU daerah-daerah kaya ini walau mereka memiliki kapasitas fiskal yang sangat tinggi. Sudah terlalu sering kita melihat kebijakan-kebijakan ambisius luntur oleh kontradiksi dan lemahnya implementasi kebijakan.
Hal ini harus benar-benar diperhatikan mengingat nyaris tidak ada perubahan yang berarti dalam alokasi dana bagi hasil. Dana bagi hasil, terutama dari SDA, masih akan berperan besar dalam menciptakan kesenjangan horizontal antar daerah. Kegagalan dalam menurunkan DAU daerah kaya harus dibayar oleh turunnya kesejahteraan penduduk daerah miskin dan melebarnya kesenjangan antara daerah kaya dan miskin.
Keempat, UU baru ini masih belum secara tegas mengatur alokasi dana dekonsentrasi. Hal ini dikhawatirkan akan semakin memperkokoh eksistensi dana dekonsentrasi sebagai “wilayah abu-abu”. Dalam tahun-tahun terakhir ini tiga kementrian besar yaitu pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, mengelola dana dekonstrasi dalam jumlah yang berlimpah. Secara aturan, dana ini didekonsentrasikan ke provinsi, untuk kemudian dilimpahkan kembali ke daerah. Pada prakteknya, dana ini digunakan untuk membiayai investasi-investasi tanpa ada kriteria-kriteria yang jelas. Alokasi dana ini ke daerah-daerah juga seringkali tidak transparan. Tujuan utama dana dekonsentrasi yaitu untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik yang bersifat lintas wilayah yurisdiksi, seringkali menjadi tidak tercapai.
Jelas terlihat bahwa revisi UU perimbangan keuangan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. UU baru masih belum mampu menjawab secara sempurna tentang bagaimana dana yang terbatas di distribusikan secara bijaksana antar daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, menyediakan infrastruktur, dan melindungi lingkungan. Masih dibutuhkan usaha yang keras untuk mewujudkan pemerataan antar daerah dan standar hidup penduduk dimanapun mereka tinggal.
Oleh: Yusuf Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar