DAU yang ditetapkan dari celah fiskal juga masih mengandung beberapa masalah, walau sudah terdapat perbaikan. Masalah terbesar disini adalah masih belum tersedianya metode untuk mengestimasi “kebutuhan fiskal” daerah. Ketiadaan hal ini membuat “kebutuhan fiskal” kembali diestimasi oleh beberapa variabel yang dianggap relevan yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), PDRB per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tiga variabel pertama adalah sama dengan di UU lama, sementara variabel kemiskinan hilang dan digantikan dua variabel terakhir.
Metode ini –sebagaimana di UU lama- dipastikan tidak akan mampu menangkap secara sempurna kebutuhan setiap daerah. Sebagai misal, kebutuhan daerah yang memiliki garis pantai yang panjang, jelas akan jauh berbeda dari daerah dengan wilayah berupa daratan. Daerah-daerah juga memiliki kebutuhan khas yang memunculkan kebutuhan dana yang berbeda-beda. Daerah-daerah kering misalnya -terlepas dari jumlah penduduk, luas wilayah, dan IKK- membutuhkan dana yang besar untuk penyediaan air bersih baik untuk kebutuhan rumah tangga, industri, maupun jasa.
Hal paling krusial disini adalah bagaimana menutup kebutuhan fiskal yang tidak tertangkap oleh variabel-variabel diatas dan kebutuhan fiskal khas daerah. Hal ini penting agar tujuan pemerataan tercapai. Semua penduduk di setiap daerah harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur, perlindungan lingkungan, keamanan, dsb. Disini peranan DAK menjadi sangat penting, terlebih dengan telah dihapuskannya Dana Darurat oleh UU baru ini. Terobosan penting dalam UU baru ini adalah memperkenalkan sistem selektif untuk DAK (pasal 40) dimana penerima DAK diutamakan untuk daerah dengan kemampuan fiskal yang rendah. Sayangnya masih belum ada aturan tegas tentang penggunaan DAK sebagai instrument untuk mempromosikan prioritas nasional di tingkat lokal. Lebih disayangkan lagi, belum ada ketentuan jumlah minimum DAK sebagaimana halnya DAU. Tanpa ketentuan ini dikhawatirkan jumlah DAK akan sangat minimal seperti yang selama ini berjalan.
Perbaikan paling berarti dalam hal DAU dicapai dengan dieliminirnya masalah “hold harmless condition” dalam alokasi DAU. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 32, bahkan daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dimungkinkan tidak menerima DAU sama sekali. Masalah terbesar disini adalah bagaimana mempertahankan konsistensi aturan ini dalam implementasinya. Sebagaimana kita ketahui, tekanan dari daerah-daerah kaya adalah sangat besar sehingga di masa lalu pemerintah tidak berdaya meski hanya untuk sedikit mengurangi DAU daerah-daerah kaya ini walau mereka memiliki kapasitas fiskal yang sangat tinggi. Sudah terlalu sering kita melihat kebijakan-kebijakan ambisius luntur oleh kontradiksi dan lemahnya implementasi kebijakan.
Hal ini harus benar-benar diperhatikan mengingat nyaris tidak ada perubahan yang berarti dalam alokasi dana bagi hasil. Dana bagi hasil, terutama dari SDA, masih akan berperan besar dalam menciptakan kesenjangan horizontal antar daerah. Kegagalan dalam menurunkan DAU daerah kaya harus dibayar oleh turunnya kesejahteraan penduduk daerah miskin dan melebarnya kesenjangan antara daerah kaya dan miskin.
Keempat, UU baru ini masih belum secara tegas mengatur alokasi dana dekonsentrasi. Hal ini dikhawatirkan akan semakin memperkokoh eksistensi dana dekonsentrasi sebagai “wilayah abu-abu”. Dalam tahun-tahun terakhir ini tiga kementrian besar yaitu pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, mengelola dana dekonstrasi dalam jumlah yang berlimpah. Secara aturan, dana ini didekonsentrasikan ke provinsi, untuk kemudian dilimpahkan kembali ke daerah. Pada prakteknya, dana ini digunakan untuk membiayai investasi-investasi tanpa ada kriteria-kriteria yang jelas. Alokasi dana ini ke daerah-daerah juga seringkali tidak transparan. Tujuan utama dana dekonsentrasi yaitu untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik yang bersifat lintas wilayah yurisdiksi, seringkali menjadi tidak tercapai.
Jelas terlihat bahwa revisi UU perimbangan keuangan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. UU baru masih belum mampu menjawab secara sempurna tentang bagaimana dana yang terbatas di distribusikan secara bijaksana antar daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, menyediakan infrastruktur, dan melindungi lingkungan. Masih dibutuhkan usaha yang keras untuk mewujudkan pemerataan antar daerah dan standar hidup penduduk dimanapun mereka tinggal.
Oleh: Yusuf Wibisono
Tampilkan postingan dengan label perimbangan keuangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perimbangan keuangan. Tampilkan semua postingan
Selasa, 27 April 2010
ARAH BURAM REVISI UU PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT-DAERAH
Indonesia kini memiliki UU otonomi daerah yang baru seiring dengan disetujuinya RUU tentang Perubahan atas UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah oleh DPR pada akhir September lalu. Kedua UU perubahan atas UU otonomi daerah yang lama ini, selain memberikan pengaturan yang lebih terinci dan tegas tentang otonomi daerah, desentralisasi, penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyelenggaraan keuangan daerah, juga telah mencapai kemajuan-kemajuan yang cukup berarti.
UU baru tentang pemerintahan daerah misalnya, telah mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung. UU ini juga mengakomodasi calon independen meski tetap harus melalui mekanisme parpol dimana parpol atau gabungan parpol diwajibkan menerima bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat dan memproses serta menetapkan sebagai pasangan calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
Namun, berbeda dengan perubahan UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah, perubahan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah adalah tidak signifikan. Meski terdapat sejumlah perbaikan, namun perubahan terhadap UU No. 25/1999 tidak seperti yang diharapkan banyak pihak. Mengingat fungsinya yang sangat sentral dalam mendukung keberhasilan otonomi daerah, hal ini tentu mencemaskan.
Secara umum ketidakpuasan terhadap UU baru tentang perimbangan keuangan pusat-daerah ini bersumber pada empat hal. Pertama, banyak perubahan yang tidak perlu karena substansi yang dibahas sebenarnya telah diatur oleh UU terkait seperti UU no. 17/2003 tentang keuangan negara, UU no. 1/2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU no. 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung Jawab keuangan negara.
Sebagai misal, UU baru memberi hak kepada pemerintah pusat untuk mengenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran dana perimbangan jika daerah melanggar kriteria dan batas maksimal defisit APBD (pasal 83). Hal ini tidak memberi hukuman pada pejabat yang melanggar hukum, dan hanya menyengsarakan penduduk daerah bersangkutan karena tertahannya dana perimbangan. Selain itu sudah terdapat sanksi yang lebih tegas dalam UU No. 17/2003 bab IX termasuk mengganti dana yang hilang, denda, dan penjara bagi pejabat yang menyalahgunakan dana publik.
UU revisi ini juga mengatur masalah pinjaman daerah secara cukup mendalam di bab VIII yang terdiri dari 17 pasal. Hal ini sebenarnya kurang tepat mengingat UU ini lebih mengatur masalah desentralisasi fiskal, bukan pengelolaan keuangan daerah.
Kedua, masih belum ada perluasan local taxing power yang memadai bagi daerah. Hal ini dapat mengancam efektifitas pelayanan jasa public terutama di daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah. Walau demikian terdapat kemajuan dimana keleluasaan daerah untuk menciptakan pajak dan retribusi daerah, diikuti pelarangan bagi daerah untuk menciptakan perda yang menciptakan ekonomi biaya dan perda yang menghambat mobilitas orang dan barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor/impor. Sayangnya, pelarangan ini tidak diikuti dengan formalisasi proses regulatory review yang memadai untuk menjamin daerah tidak menciptakan perda-perda bermasalah. Tanpa institusionalisasi regulatory review yang efektif, pelarangan ini hanya akan menjadi macan ompong seperti yang selama empat tahun terakhir ini terjadi.
Ketiga, formula DAU –yang merupakan komponen terbesar pada mayoritas anggaran daerah- tidak mengalami banyak perubahan. Formula baru DAU cukup bijaksana dengan hanya menaikkan jumlah DAU dari 25% menjadi 26% dari pendapatan dalam negeri netto. Namun sayangnya hal ini belum diimbangi dengan ketentuan yang dapat mengurangi potensi instabilitas makro pemerintah pusat agar daerah mau berbagi beban pengeluaran jika beban pengeluaran pemerintah pusat meningkat secara drastis seperti akibat beban utang atau yang kini terjadi karena kenaikan harga minyak dunia.
Ketidakpuasan lainnya bersumber dari bagian DAU daerah yang ditetapkan berdasarkan celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi dasar. Elemen transisional berupa alokasi dasar ini semestinya harus semakin ditinggalkan, bukannya justru diformalkan. Hal ini bahkan lebih buruk dari pengaturan di UU lama dan akan semakin menjauhkan DAU sebagai mekanisme ekualisasi fiskal horizontal antar daerah. Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan jumlah gaji PNS daerah, akan mereduksi disiplin fiskal daerah dan secara jelas akan menghilangkan inisiatif reformasi birokrasi di tingkat lokal. Hal ini juga akan memberi insentif bagi daerah untuk terus melakukan pemekaran-pemekaran daerah baru, bukannya bergabung untuk menciptakan economies of scale dengan berbagi fasilitas dan operasi birokrasi.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
UU baru tentang pemerintahan daerah misalnya, telah mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung. UU ini juga mengakomodasi calon independen meski tetap harus melalui mekanisme parpol dimana parpol atau gabungan parpol diwajibkan menerima bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat dan memproses serta menetapkan sebagai pasangan calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
Namun, berbeda dengan perubahan UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah, perubahan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah adalah tidak signifikan. Meski terdapat sejumlah perbaikan, namun perubahan terhadap UU No. 25/1999 tidak seperti yang diharapkan banyak pihak. Mengingat fungsinya yang sangat sentral dalam mendukung keberhasilan otonomi daerah, hal ini tentu mencemaskan.
Secara umum ketidakpuasan terhadap UU baru tentang perimbangan keuangan pusat-daerah ini bersumber pada empat hal. Pertama, banyak perubahan yang tidak perlu karena substansi yang dibahas sebenarnya telah diatur oleh UU terkait seperti UU no. 17/2003 tentang keuangan negara, UU no. 1/2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU no. 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung Jawab keuangan negara.
Sebagai misal, UU baru memberi hak kepada pemerintah pusat untuk mengenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran dana perimbangan jika daerah melanggar kriteria dan batas maksimal defisit APBD (pasal 83). Hal ini tidak memberi hukuman pada pejabat yang melanggar hukum, dan hanya menyengsarakan penduduk daerah bersangkutan karena tertahannya dana perimbangan. Selain itu sudah terdapat sanksi yang lebih tegas dalam UU No. 17/2003 bab IX termasuk mengganti dana yang hilang, denda, dan penjara bagi pejabat yang menyalahgunakan dana publik.
UU revisi ini juga mengatur masalah pinjaman daerah secara cukup mendalam di bab VIII yang terdiri dari 17 pasal. Hal ini sebenarnya kurang tepat mengingat UU ini lebih mengatur masalah desentralisasi fiskal, bukan pengelolaan keuangan daerah.
Kedua, masih belum ada perluasan local taxing power yang memadai bagi daerah. Hal ini dapat mengancam efektifitas pelayanan jasa public terutama di daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah. Walau demikian terdapat kemajuan dimana keleluasaan daerah untuk menciptakan pajak dan retribusi daerah, diikuti pelarangan bagi daerah untuk menciptakan perda yang menciptakan ekonomi biaya dan perda yang menghambat mobilitas orang dan barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor/impor. Sayangnya, pelarangan ini tidak diikuti dengan formalisasi proses regulatory review yang memadai untuk menjamin daerah tidak menciptakan perda-perda bermasalah. Tanpa institusionalisasi regulatory review yang efektif, pelarangan ini hanya akan menjadi macan ompong seperti yang selama empat tahun terakhir ini terjadi.
Ketiga, formula DAU –yang merupakan komponen terbesar pada mayoritas anggaran daerah- tidak mengalami banyak perubahan. Formula baru DAU cukup bijaksana dengan hanya menaikkan jumlah DAU dari 25% menjadi 26% dari pendapatan dalam negeri netto. Namun sayangnya hal ini belum diimbangi dengan ketentuan yang dapat mengurangi potensi instabilitas makro pemerintah pusat agar daerah mau berbagi beban pengeluaran jika beban pengeluaran pemerintah pusat meningkat secara drastis seperti akibat beban utang atau yang kini terjadi karena kenaikan harga minyak dunia.
Ketidakpuasan lainnya bersumber dari bagian DAU daerah yang ditetapkan berdasarkan celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi dasar. Elemen transisional berupa alokasi dasar ini semestinya harus semakin ditinggalkan, bukannya justru diformalkan. Hal ini bahkan lebih buruk dari pengaturan di UU lama dan akan semakin menjauhkan DAU sebagai mekanisme ekualisasi fiskal horizontal antar daerah. Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan jumlah gaji PNS daerah, akan mereduksi disiplin fiskal daerah dan secara jelas akan menghilangkan inisiatif reformasi birokrasi di tingkat lokal. Hal ini juga akan memberi insentif bagi daerah untuk terus melakukan pemekaran-pemekaran daerah baru, bukannya bergabung untuk menciptakan economies of scale dengan berbagi fasilitas dan operasi birokrasi.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Sabtu, 27 Maret 2010
PULANG KE DESA
Lahirnya UU No.22 dan No.25 tahun1999 menandai dimulainya era baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia yaitu otonomi daerah yang resmi dilaksanakan sejak 1 Januari 2001 yang lalu. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah ini, salah satu bidang yang kini terlihat menjadi begitu menarik dibicarakan adalah bisnis di daerah.
Hal ini sebenarnya adalah wajar karena berdasarkan skema UU No.25/1999, daerah akan mendapat perimbangan keuangan yang lebih adil. Dari sinilah peluang untuk memajukan perekonomian daerah terbuka lebar. Tak kurang Dana Perimbangan sejumlah Rp 81,6 triliun akan mengalir ke daerah pada tahun 2001 ini. Angka yang sangat tidak kecil. Namun euforia bisnis di daerah ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak diikuti oleh kehati-hatian. Sebagaimana telah banyak diungkap berbagai pihak, pelaksanaan otonomi ini masih penuh dengan carut marut, dan bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi sumber instabilitas baru.
Masalah pertama jelas adalah masalah KKN. Dengan kualitas sistem dan SDM yang seperti sekarang, amat sangatlah mungkin KKN malah akan tambah merajalela. Bila KKN tidak berhasil ditekan, implikasinya jelas dana pembangunan akan berkurang dan akan banyak lahir kebijakan ngawur yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah-pun akan jalan di tempat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prediksi akan semakin memburuknya pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Banyak pemda melakukan alokasi minimal pada pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat dan sebaliknya melakukan alokasi berlebihan pada hal-hal yang tidak dibutuhkan seperti pembangunan gedung-gedung pemda. Stabilitas daerah-pun menjadi rawan.
Masalah pelik berikut adalah pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah, termasuk di dalamnya adalah pelimpahan PNS yang akan menjadi beban daerah selanjutnya. Dan ini menjadi masalah besar mengingat otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 adalah lebih berbasis di daerah tingkat II -yang umumnya belum siap dengan otonomi- daripada di tingkat propinsi. Untuk masalah realokasi personel, aset, dan dokumen dari pusat ke daerah, Tim Keppres 157 telah mengidentifikasi unit kerja pemerintah yang harus di transfer ke daerah meliputi 239 kantor dekonsentrasi di tingkat propinsi, 3.933 kantor dekonsentrasi di tingkat distrik/kabupaten, dan 16.180 unit implementasi teknis. Tanpa keraguan kita bisa menyatakan bahwa transfer ini akan banyak menimbulkan masalah.
Dari sudut keuangan daerah, masalah pelimpahan ini sama artinya bertambahnya beban daerah untuk membiayai kegiatan rutinnya sehari-hari. Padahal tanpa tambahan tugas saja banyak daerah yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Dari analisa data tahun 1998, dari 289 kabupaten/kota, yang mempunyai PAD (Pendapatan Asli Daerah) relatif besar untuk membiayai pengeluaran rutinnya hanya ada 6 daerah saja yaitu Kodya Semarang, Kodya Denpasar, Kab. Bogor, Kodya Bandung, Kodya Surabaya, dan Kab. Badung. Artinya adalah, dana perimbangan yang kini mengalir ke daerah tidak berarti seluruhnya akan menjadi dana pembangunan. Bahkan sangat mungkin dana tersebut akan habis hanya untuk membiayai kegiatan rutin saja, seperti belanja pegawai misalnya.
Bila demikian yang terjadi, geliat ekonomi daerah dipastikan tidak akan sebesar yang selama ini kita bayangkan. Bahkan bisa jadi akan banyak pemda yang bangkrut nantinya. Tanda-tanda kebangkrutan ini mulai terlihat dengan banyaknya pemda yang mengeluh bahwa mereka belum menerima kucuran dana DAU dan dana bagi hasil padahal otonomi sudah berjalan lebih dari empat bulan! Tak heran bila banyak daerah-daerah yang kini secara ngawur menerbitkan perda-perda baru untuk memungut pajak hanya dengan alasan untuk mengejar PAD. Pertikaian antar daerah -seperti saling berebut mengkapling laut misalnya- juga makin sering terdengar. Belum lagi masalah pinjaman asing yang kian santer ingin dilakukan oleh sejumlah daerah.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Hal ini sebenarnya adalah wajar karena berdasarkan skema UU No.25/1999, daerah akan mendapat perimbangan keuangan yang lebih adil. Dari sinilah peluang untuk memajukan perekonomian daerah terbuka lebar. Tak kurang Dana Perimbangan sejumlah Rp 81,6 triliun akan mengalir ke daerah pada tahun 2001 ini. Angka yang sangat tidak kecil. Namun euforia bisnis di daerah ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak diikuti oleh kehati-hatian. Sebagaimana telah banyak diungkap berbagai pihak, pelaksanaan otonomi ini masih penuh dengan carut marut, dan bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi sumber instabilitas baru.
Masalah pertama jelas adalah masalah KKN. Dengan kualitas sistem dan SDM yang seperti sekarang, amat sangatlah mungkin KKN malah akan tambah merajalela. Bila KKN tidak berhasil ditekan, implikasinya jelas dana pembangunan akan berkurang dan akan banyak lahir kebijakan ngawur yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah-pun akan jalan di tempat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prediksi akan semakin memburuknya pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Banyak pemda melakukan alokasi minimal pada pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat dan sebaliknya melakukan alokasi berlebihan pada hal-hal yang tidak dibutuhkan seperti pembangunan gedung-gedung pemda. Stabilitas daerah-pun menjadi rawan.
Masalah pelik berikut adalah pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah, termasuk di dalamnya adalah pelimpahan PNS yang akan menjadi beban daerah selanjutnya. Dan ini menjadi masalah besar mengingat otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 adalah lebih berbasis di daerah tingkat II -yang umumnya belum siap dengan otonomi- daripada di tingkat propinsi. Untuk masalah realokasi personel, aset, dan dokumen dari pusat ke daerah, Tim Keppres 157 telah mengidentifikasi unit kerja pemerintah yang harus di transfer ke daerah meliputi 239 kantor dekonsentrasi di tingkat propinsi, 3.933 kantor dekonsentrasi di tingkat distrik/kabupaten, dan 16.180 unit implementasi teknis. Tanpa keraguan kita bisa menyatakan bahwa transfer ini akan banyak menimbulkan masalah.
Dari sudut keuangan daerah, masalah pelimpahan ini sama artinya bertambahnya beban daerah untuk membiayai kegiatan rutinnya sehari-hari. Padahal tanpa tambahan tugas saja banyak daerah yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Dari analisa data tahun 1998, dari 289 kabupaten/kota, yang mempunyai PAD (Pendapatan Asli Daerah) relatif besar untuk membiayai pengeluaran rutinnya hanya ada 6 daerah saja yaitu Kodya Semarang, Kodya Denpasar, Kab. Bogor, Kodya Bandung, Kodya Surabaya, dan Kab. Badung. Artinya adalah, dana perimbangan yang kini mengalir ke daerah tidak berarti seluruhnya akan menjadi dana pembangunan. Bahkan sangat mungkin dana tersebut akan habis hanya untuk membiayai kegiatan rutin saja, seperti belanja pegawai misalnya.
Bila demikian yang terjadi, geliat ekonomi daerah dipastikan tidak akan sebesar yang selama ini kita bayangkan. Bahkan bisa jadi akan banyak pemda yang bangkrut nantinya. Tanda-tanda kebangkrutan ini mulai terlihat dengan banyaknya pemda yang mengeluh bahwa mereka belum menerima kucuran dana DAU dan dana bagi hasil padahal otonomi sudah berjalan lebih dari empat bulan! Tak heran bila banyak daerah-daerah yang kini secara ngawur menerbitkan perda-perda baru untuk memungut pajak hanya dengan alasan untuk mengejar PAD. Pertikaian antar daerah -seperti saling berebut mengkapling laut misalnya- juga makin sering terdengar. Belum lagi masalah pinjaman asing yang kian santer ingin dilakukan oleh sejumlah daerah.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Label:
daerah,
dana perimbangan,
desa,
ekonomi,
euforia bisnis,
instabilitas,
kkn,
manajemen,
otonomi,
otonomi daerah,
pelimpahan wewenang,
perimbangan keuangan,
pertumbuhan ekonomi,
pusat,
yusuf wibisono
Langganan:
Postingan (Atom)