Haji dan Lembaga Keuangan Syariah
Dalam mengelola dana tabungan haji, THI selain dituntut profesional juga harus sesuai dengan tuntunan syariah. Tidak boleh ada pengelolaan dana haji yang terkait dengan riba, gharar, maysir, dan hal-hal yang bathil.
Maka dalam operasional-nya, THI akan selalu berhubungan dengan lembaga keuangan syariah, baik perbankan syariah, asuransi syariah, maupun lembaga investasi syariah lainnya. Menjadi ironis bila selama ini dana haji dikelola oleh lembaga keuangan konvensional.
Jika hal ini dapat dilaksanakan, maka dampak terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah akan sangat besar. Sebagai misal, hingga November 2004, dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah baru mencapai Rp 10,5 triliun. Bayangkan bila dana Rp 6 triliun dapat sepenuhnya dikelola di dalam bank syariah, tentu akan terjadi penambahan dana yang luar biasa bagi perbankan syariah. Dengan mobilisasi dana lembaga keuangan syariah yang semakin besar, maka dampak terhadap perekonomian akan semakin positif yaitu dinamisasi sektor riil terutama UKM, stabilitas sektor keuangan, dan stabilitas tingkat harga.
Haji dan Bisnis Komersial
Penyelenggaraan ibadah haji banyak melibatkan berbagai komponen yang memiliki nilai ekonomi besar sehingga berpotensi menciptakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan, mulai dari transportasi dari tanah air ke tanah suci, pemondokan, katering hingga bisnis kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Untuk aspek-aspek pelaksanaan haji inilah perhatian Depag banyak tercurah. Dengan posisi monopoli yang menempatkannnya sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia”, Depag telah membuat haji sebagai arena perburuan rente ekonomi tahunan oleh birokrasi dan para kroni-nya.
Aroma bisnis yang kental di tangan satu pihak inilah yang selama ini menjadi arena KKN yang sangat subur. Terlebih dengan akumulasi sisa dana haji yang dilegalkan menjadi Dana Abadi Ummat (DAU) telah membuka praktik politik uang, tidak hanya di lingkungan Depag tetapi juga telah menyebar ke lingkaran kekuasaan lainnya. Hal ini tentu memprihatinkan, bahwa ibadah haji yang suci justru menjadi sumber praktik bisnis dan politik tidak terpuji.
Dengan pendirian THI, maka THI akan menggantikan peran pelaksana ibadah haji yang selama ini dilakukan Depag. Dengan demikian Depag akan bisa lebih berfokus pada fungsi regulasi dan pengawasan yang selama ini terabaikan. Untuk memacu efisiensi, THI tidak boleh menjadi monopoli. THI harus dihadapkan pada persaingan sehat dengan menempatkan biro perjalanan haji swasta sebagai pelaksana haji pendamping. Dengan demikian, jamaah akan mendapat pelayanan prima dengan ongkos yang murah. Pada saat yang sama, peran sektor swasta teroptimalkan sehingga akan menggerakkan sektor riil.
Haji dan Kemiskinan
Dari sisi agama, salah satu permasalahan dalam ibadah haji adalah haji ulang; yaitu mereka yang melaksanakan haji untuk yang kedua kali dan seterusnya. Secara formal, haji ulang adalah sunnah. Namun, dalam perspektif kontemporer, sangat mungkin haji ulang bukan lagi sunnah.
Di Indonesia, kemiskinan adalah luas dan persisten. Kemiskinan adalah sumber dari semua permasalahan sosial-kemasyarakatan seperti kriminalitas, penurunan kualitas hubungan sosial, kenakalan remaja, anak-anak terlantar, hingga penyalahgunaan obat terlarang. Maka di dalam Islam, menyantuni fakir miskin adalah maslahah yang bersifat qath’i karena secara jelas disebut Al Qur’an berulang kali. Dalam perspektif ini, tentu lebih baik untuk mengentaskan kemiskinan yang bersifat wajib daripada mendahulukan haji ulang yang hanya sunnah.
Maka THI dapat mensosialisakan kepada mereka yang hendak haji ulang agar mengurungkan niatnya karena dalam kasus Indonesia dimana kemiskinan dan masalah sosial ummat Islam lainnya yang bersifat wajib masih sangat banyak, maka haji ulang sangat mungkin tidak lagi bernilai sunnah. Pada saat yang sama, mereka dihimbau untuk menyerahkan dana haji ulang ke THI atau LSM untuk program pengentasan kemiskinan.
Jika haji ulang tidak bisa dicegah, setidaknya harus ada dis-insentif. Sebagai misal, bagi mereka yang ingin haji ulang diharuskan membayar setoran tabungan secara penuh di awal namun dengan keberangkatan 4-5 tahun kemudian. Sehingga dana haji ulang ini akan tertahan lama di THI dan akan menjadi dana murah yang dapat dipergunakan untuk investasi jangka panjang, khususnya yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan.
Oleh: Yusuf Wibisono
Tampilkan postingan dengan label kkn. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kkn. Tampilkan semua postingan
Rabu, 31 Maret 2010
HAJI YANG MEMBERDAYAKAN UMMAT - Habis
Label:
bisnis komersial,
dana abadi ummat,
dau,
depag,
ekonomi,
haji,
haji ulang,
kemiskinan,
kkn,
konvensional,
lahan bisnis,
lembaga keuangan,
perbankan,
profesional,
syariah,
ummat,
yusuf wibisono
Sabtu, 27 Maret 2010
PULANG KE DESA
Lahirnya UU No.22 dan No.25 tahun1999 menandai dimulainya era baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia yaitu otonomi daerah yang resmi dilaksanakan sejak 1 Januari 2001 yang lalu. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah ini, salah satu bidang yang kini terlihat menjadi begitu menarik dibicarakan adalah bisnis di daerah.
Hal ini sebenarnya adalah wajar karena berdasarkan skema UU No.25/1999, daerah akan mendapat perimbangan keuangan yang lebih adil. Dari sinilah peluang untuk memajukan perekonomian daerah terbuka lebar. Tak kurang Dana Perimbangan sejumlah Rp 81,6 triliun akan mengalir ke daerah pada tahun 2001 ini. Angka yang sangat tidak kecil. Namun euforia bisnis di daerah ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak diikuti oleh kehati-hatian. Sebagaimana telah banyak diungkap berbagai pihak, pelaksanaan otonomi ini masih penuh dengan carut marut, dan bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi sumber instabilitas baru.
Masalah pertama jelas adalah masalah KKN. Dengan kualitas sistem dan SDM yang seperti sekarang, amat sangatlah mungkin KKN malah akan tambah merajalela. Bila KKN tidak berhasil ditekan, implikasinya jelas dana pembangunan akan berkurang dan akan banyak lahir kebijakan ngawur yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah-pun akan jalan di tempat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prediksi akan semakin memburuknya pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Banyak pemda melakukan alokasi minimal pada pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat dan sebaliknya melakukan alokasi berlebihan pada hal-hal yang tidak dibutuhkan seperti pembangunan gedung-gedung pemda. Stabilitas daerah-pun menjadi rawan.
Masalah pelik berikut adalah pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah, termasuk di dalamnya adalah pelimpahan PNS yang akan menjadi beban daerah selanjutnya. Dan ini menjadi masalah besar mengingat otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 adalah lebih berbasis di daerah tingkat II -yang umumnya belum siap dengan otonomi- daripada di tingkat propinsi. Untuk masalah realokasi personel, aset, dan dokumen dari pusat ke daerah, Tim Keppres 157 telah mengidentifikasi unit kerja pemerintah yang harus di transfer ke daerah meliputi 239 kantor dekonsentrasi di tingkat propinsi, 3.933 kantor dekonsentrasi di tingkat distrik/kabupaten, dan 16.180 unit implementasi teknis. Tanpa keraguan kita bisa menyatakan bahwa transfer ini akan banyak menimbulkan masalah.
Dari sudut keuangan daerah, masalah pelimpahan ini sama artinya bertambahnya beban daerah untuk membiayai kegiatan rutinnya sehari-hari. Padahal tanpa tambahan tugas saja banyak daerah yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Dari analisa data tahun 1998, dari 289 kabupaten/kota, yang mempunyai PAD (Pendapatan Asli Daerah) relatif besar untuk membiayai pengeluaran rutinnya hanya ada 6 daerah saja yaitu Kodya Semarang, Kodya Denpasar, Kab. Bogor, Kodya Bandung, Kodya Surabaya, dan Kab. Badung. Artinya adalah, dana perimbangan yang kini mengalir ke daerah tidak berarti seluruhnya akan menjadi dana pembangunan. Bahkan sangat mungkin dana tersebut akan habis hanya untuk membiayai kegiatan rutin saja, seperti belanja pegawai misalnya.
Bila demikian yang terjadi, geliat ekonomi daerah dipastikan tidak akan sebesar yang selama ini kita bayangkan. Bahkan bisa jadi akan banyak pemda yang bangkrut nantinya. Tanda-tanda kebangkrutan ini mulai terlihat dengan banyaknya pemda yang mengeluh bahwa mereka belum menerima kucuran dana DAU dan dana bagi hasil padahal otonomi sudah berjalan lebih dari empat bulan! Tak heran bila banyak daerah-daerah yang kini secara ngawur menerbitkan perda-perda baru untuk memungut pajak hanya dengan alasan untuk mengejar PAD. Pertikaian antar daerah -seperti saling berebut mengkapling laut misalnya- juga makin sering terdengar. Belum lagi masalah pinjaman asing yang kian santer ingin dilakukan oleh sejumlah daerah.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Hal ini sebenarnya adalah wajar karena berdasarkan skema UU No.25/1999, daerah akan mendapat perimbangan keuangan yang lebih adil. Dari sinilah peluang untuk memajukan perekonomian daerah terbuka lebar. Tak kurang Dana Perimbangan sejumlah Rp 81,6 triliun akan mengalir ke daerah pada tahun 2001 ini. Angka yang sangat tidak kecil. Namun euforia bisnis di daerah ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak diikuti oleh kehati-hatian. Sebagaimana telah banyak diungkap berbagai pihak, pelaksanaan otonomi ini masih penuh dengan carut marut, dan bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi sumber instabilitas baru.
Masalah pertama jelas adalah masalah KKN. Dengan kualitas sistem dan SDM yang seperti sekarang, amat sangatlah mungkin KKN malah akan tambah merajalela. Bila KKN tidak berhasil ditekan, implikasinya jelas dana pembangunan akan berkurang dan akan banyak lahir kebijakan ngawur yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah-pun akan jalan di tempat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prediksi akan semakin memburuknya pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Banyak pemda melakukan alokasi minimal pada pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat dan sebaliknya melakukan alokasi berlebihan pada hal-hal yang tidak dibutuhkan seperti pembangunan gedung-gedung pemda. Stabilitas daerah-pun menjadi rawan.
Masalah pelik berikut adalah pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah, termasuk di dalamnya adalah pelimpahan PNS yang akan menjadi beban daerah selanjutnya. Dan ini menjadi masalah besar mengingat otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 adalah lebih berbasis di daerah tingkat II -yang umumnya belum siap dengan otonomi- daripada di tingkat propinsi. Untuk masalah realokasi personel, aset, dan dokumen dari pusat ke daerah, Tim Keppres 157 telah mengidentifikasi unit kerja pemerintah yang harus di transfer ke daerah meliputi 239 kantor dekonsentrasi di tingkat propinsi, 3.933 kantor dekonsentrasi di tingkat distrik/kabupaten, dan 16.180 unit implementasi teknis. Tanpa keraguan kita bisa menyatakan bahwa transfer ini akan banyak menimbulkan masalah.
Dari sudut keuangan daerah, masalah pelimpahan ini sama artinya bertambahnya beban daerah untuk membiayai kegiatan rutinnya sehari-hari. Padahal tanpa tambahan tugas saja banyak daerah yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Dari analisa data tahun 1998, dari 289 kabupaten/kota, yang mempunyai PAD (Pendapatan Asli Daerah) relatif besar untuk membiayai pengeluaran rutinnya hanya ada 6 daerah saja yaitu Kodya Semarang, Kodya Denpasar, Kab. Bogor, Kodya Bandung, Kodya Surabaya, dan Kab. Badung. Artinya adalah, dana perimbangan yang kini mengalir ke daerah tidak berarti seluruhnya akan menjadi dana pembangunan. Bahkan sangat mungkin dana tersebut akan habis hanya untuk membiayai kegiatan rutin saja, seperti belanja pegawai misalnya.
Bila demikian yang terjadi, geliat ekonomi daerah dipastikan tidak akan sebesar yang selama ini kita bayangkan. Bahkan bisa jadi akan banyak pemda yang bangkrut nantinya. Tanda-tanda kebangkrutan ini mulai terlihat dengan banyaknya pemda yang mengeluh bahwa mereka belum menerima kucuran dana DAU dan dana bagi hasil padahal otonomi sudah berjalan lebih dari empat bulan! Tak heran bila banyak daerah-daerah yang kini secara ngawur menerbitkan perda-perda baru untuk memungut pajak hanya dengan alasan untuk mengejar PAD. Pertikaian antar daerah -seperti saling berebut mengkapling laut misalnya- juga makin sering terdengar. Belum lagi masalah pinjaman asing yang kian santer ingin dilakukan oleh sejumlah daerah.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Label:
daerah,
dana perimbangan,
desa,
ekonomi,
euforia bisnis,
instabilitas,
kkn,
manajemen,
otonomi,
otonomi daerah,
pelimpahan wewenang,
perimbangan keuangan,
pertumbuhan ekonomi,
pusat,
yusuf wibisono
Langganan:
Postingan (Atom)