Di Indonesia, polarisasi pembangunan terpusat pada kota-kota besar di sepanjang koridor Sumatra bagian timur dan Jawa bagian utara. Dan pesatnya pembangunan di kota-kota besar ini telah memarakkan aktivitas perekonomian disekitarnya dengan sangat luar biasa.
Studi Firman (1996) memperlihatkan bahwa 5 koridor utama di Jawa yaitu yang teridentifikasi melalui jalur Jakarta-Bandung; Koridor Serang-Jakarta-Karawang yang kini semakin mengembang ke arah Cirebon; Koridor Cirebon-Semarang; Koridor Semarang-Yogyakarta; dan Koridor Surabaya-Malang, dicirikan oleh semakin kaburnya perbedaan antara wilayah rural (pedesaan) dengan wilayah urban (perkotaan). Bahkan lebih jauh lagi, telah terjadi percampuran antara kegiatan ekonomi pedesaan -khususnya pertanian- dan kegiatan ekonomi perkotaan. Dan geliat perekonomian di daerah ini diyakini tidak akan surut dengan desentralisasi, bahkan akan semakin marak.
Sementara itu, dengan skema bagi hasil sumber daya alam sesuai UU No.25/1999 kita juga dapat memastikan bahwa daerah-daerah yang kaya dengan SDA seperti Aceh, Riau, Kaltim dan Irian akan mendapat dana perimbangan yang lebih besar dari daerah lain. Daerah-daerah ini dipastikan akan menjadi daerah "kaya" baru, yang pada gilirannya akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Kota-kota seperti Bontang, Lhokseumawe, Timika, dan Rumbai potensial akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan karenanya sangat layak untuk dibidik.
Indikator dari menariknya potensi ekonomi daerah-daerah "kaya" ini terlihat dari tingginya laju migrasi masuk ke daerah-daerah tersebut. Batam dan Timika adalah contoh daerah yang memiliki laju migrasi masuk tertinggi di Indonesia. Gejala serupa juga diperkirakan akan segera terjadi di kota-kota seperti Pekanbaru, Dumai, Rumbai, Bontang, Balikpapan, Sorong, dan Muaraenim.
Data terakhir dari sensus penduduk 2000 juga memperkuat hal ini. Dari sensus 2000 diketahui bahwa propinsi Riau merupakan propinsi yang paling cepat laju pertumbuhan penduduknya sebesar 3,79% yang mana hal ini terjadi tidak lain karena Riau telah menjadi daerah tujuan para pekerja dari propinsi lain. Propinsi kaya lainnya juga mengalami gejala pertambahan penduduk yang signifikan yaitu Kalimantan Timur (2,74%) dan Irian Jaya (2,60%).
Anda juga perlu untuk memasang mata dan telinga lebih tajam untuk menangkap peluang-peluang yang "tersembunyi". Sebagai contoh peluang tersembunyi ini adalah Kabupaten Indramayu. Selama ini Indramayu terkenal sebagai salah satu daerah terbesar pengekspor tenaga kerja tidak terdidik ke daerah perkotaan dan bahkan luar negeri. Yang tergambar di benak kita adalah Indramayu adalah daerah miskin sehingga banyak warganya yang merantau.
Padahal sebenarnya Indramayu adalah daerah kaya dengan tambang minyak-nya baik on-shore maupun off-shore yakni di kecamatan Karang Ampel dan Losarang. Kilang minyak Balongan yang terkenal itupun ada di daerah ini. Jika UU No.25/1999 efektif diberlakukan, maka total penerimaan daerah ini akan meningkat drastis dari sekitar Rp 150 milyar pada tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp 365 milyar pada tahun 2001 ini.
Jadi, bila di era otonomi daerah ini anda diajak kawan untuk "pulang ke desa", jangan langsung anggukan kepala anda. Tetapi tanyalah dulu, pulang ke desa yang mana?
Oleh: Yusuf Wibisono
Tampilkan postingan dengan label dana perimbangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dana perimbangan. Tampilkan semua postingan
Senin, 29 Maret 2010
PULANG KE DESA - Habis
Label:
bagi hasil,
daerah,
dana perimbangan,
desa,
desentralisasi,
ekonomi,
indikator,
indramayu,
manajemen,
migrasi masuk,
otonomi,
peluang tersembunyi,
percampuran,
polarisasi,
sensus,
yusuf wibisono
Minggu, 28 Maret 2010
Fiesta Story Chapter IV: Pengkhianatan Epith

Para dewa mulai memikirkan cara. Mereka mengawasi Epith dengan cermat selama beberapa waktu. Mereka menganggap dia iri terhadap kakaknya. Walaupun peran dia begitu kuat berpengaruh dalam keberhasilan pasukan Peri, ia tidak pernah percaya bahwa dia akan mendapatkan rasa hormat yang selayaknya. Dia merasa dia akan hidup di bawah bayang-bayang kakaknya Elderine.
Lalu kemarahan dan cemburu yang ia tunjukan mulai menodai pikirannya sendiri. `Itu adalah sihir ku yang telah menyelamatkan mereka begitu banyak berkali-kali sebelumnya! Kenapa mereka begitu memuja kakak` Epith pun mulai terpengaruh hasutan-hasutan para dewa. Setiap malam, selama sepuluh malam, para dewa datang ke Epith. Pagel menggoda dengan kekayaan dan keunggulan yang bisa menjadi miliknya jika ia berhianat.
Apoline merayunya dengan janji-janji kekuasaan apa pun yang ingin ia peroleh dan apapun keinginan dia akan terpenuhi jika ia bergabung dengan para dewa. Mereka membuat Epith berambisi dan nafsu kekuasaan tumbuh seratus kali lipat dalam diri Epith. Segera Epith mulai bergerak di antara murid-muridnya. Mengajak orang-orang yang merasakan hal yang sama seperti dia, mereka perlahan-lahan berkumpul di sekitar dirinya bersama beberapa penyihir yang setia mengikuti.
Akhirnya waktu untuk menyerang datang; Apoline pergi ke Epith sendirian saat yang lain tertidur. Dia mengatakan agar serangan berhasil, Epith harus memusnahkan orang-orang Majus juga, atau paling tidak tertahan cukup lama oleh para pengikutnya untuk membuat ia bisa bergerak. Lalu Apoline mengecap mantra kedalam pikiran Epith, sebagai strip Pelindung dan kekuasaan untuk sementara waktu. Apoline berjanji kepadanya bahwa jika ia berhasil, itu akan menjadi miliknya selamanya. Ini adalah cara terakhir membujuk Epith yang diperlukan untuk mengkhianati kakaknya dan rakyatnya.
Epith memberi sinyal kepada para pengikutnya ketika ia pindah ke salah satu kota yang gerbang nya kurang dijaga. Ketika dia mendekat dia melihat hanya Banen mendekat dengan sepasukan kecil. Semua anggota pasukan itu pengikut Epith. Jelas, rencana itu sempurna.
Banen segera menyadari bahwa ini adalah penyergapan, Epith mendekat untuk menyambut Banen. Dia menciptakan cahaya terang dan melihat langsung raut tenang Banen yang telah siap. Sebelum Epith bisa mengetahui apa yang membuat Banen bereaksi demikian. Apakah pengikut Epith tidak bereaksi secepat seperti yang ia lakukan, tentunya ini akan memberi pertanda buruk untuk rencananya. Lalu para pengikut Epith meluncurkan tembakan mantra-mantra kearah Banen. Sementara mantra mereka tidak lebih dari colekan bagi Banen dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Namun itu sudah cukup bagi Epith untuk memulai mantra kutukannya. Sihir Epith selesai tepat sebelum Banen bisa pulih untuk bergerak.
(bersambung)
Sumber: http://fiesta.outspark.com/guides/story
Oleh: Muhammad Jundi Robbani
Sabtu, 27 Maret 2010
PULANG KE DESA
Lahirnya UU No.22 dan No.25 tahun1999 menandai dimulainya era baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia yaitu otonomi daerah yang resmi dilaksanakan sejak 1 Januari 2001 yang lalu. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah ini, salah satu bidang yang kini terlihat menjadi begitu menarik dibicarakan adalah bisnis di daerah.
Hal ini sebenarnya adalah wajar karena berdasarkan skema UU No.25/1999, daerah akan mendapat perimbangan keuangan yang lebih adil. Dari sinilah peluang untuk memajukan perekonomian daerah terbuka lebar. Tak kurang Dana Perimbangan sejumlah Rp 81,6 triliun akan mengalir ke daerah pada tahun 2001 ini. Angka yang sangat tidak kecil. Namun euforia bisnis di daerah ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak diikuti oleh kehati-hatian. Sebagaimana telah banyak diungkap berbagai pihak, pelaksanaan otonomi ini masih penuh dengan carut marut, dan bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi sumber instabilitas baru.
Masalah pertama jelas adalah masalah KKN. Dengan kualitas sistem dan SDM yang seperti sekarang, amat sangatlah mungkin KKN malah akan tambah merajalela. Bila KKN tidak berhasil ditekan, implikasinya jelas dana pembangunan akan berkurang dan akan banyak lahir kebijakan ngawur yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah-pun akan jalan di tempat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prediksi akan semakin memburuknya pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Banyak pemda melakukan alokasi minimal pada pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat dan sebaliknya melakukan alokasi berlebihan pada hal-hal yang tidak dibutuhkan seperti pembangunan gedung-gedung pemda. Stabilitas daerah-pun menjadi rawan.
Masalah pelik berikut adalah pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah, termasuk di dalamnya adalah pelimpahan PNS yang akan menjadi beban daerah selanjutnya. Dan ini menjadi masalah besar mengingat otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 adalah lebih berbasis di daerah tingkat II -yang umumnya belum siap dengan otonomi- daripada di tingkat propinsi. Untuk masalah realokasi personel, aset, dan dokumen dari pusat ke daerah, Tim Keppres 157 telah mengidentifikasi unit kerja pemerintah yang harus di transfer ke daerah meliputi 239 kantor dekonsentrasi di tingkat propinsi, 3.933 kantor dekonsentrasi di tingkat distrik/kabupaten, dan 16.180 unit implementasi teknis. Tanpa keraguan kita bisa menyatakan bahwa transfer ini akan banyak menimbulkan masalah.
Dari sudut keuangan daerah, masalah pelimpahan ini sama artinya bertambahnya beban daerah untuk membiayai kegiatan rutinnya sehari-hari. Padahal tanpa tambahan tugas saja banyak daerah yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Dari analisa data tahun 1998, dari 289 kabupaten/kota, yang mempunyai PAD (Pendapatan Asli Daerah) relatif besar untuk membiayai pengeluaran rutinnya hanya ada 6 daerah saja yaitu Kodya Semarang, Kodya Denpasar, Kab. Bogor, Kodya Bandung, Kodya Surabaya, dan Kab. Badung. Artinya adalah, dana perimbangan yang kini mengalir ke daerah tidak berarti seluruhnya akan menjadi dana pembangunan. Bahkan sangat mungkin dana tersebut akan habis hanya untuk membiayai kegiatan rutin saja, seperti belanja pegawai misalnya.
Bila demikian yang terjadi, geliat ekonomi daerah dipastikan tidak akan sebesar yang selama ini kita bayangkan. Bahkan bisa jadi akan banyak pemda yang bangkrut nantinya. Tanda-tanda kebangkrutan ini mulai terlihat dengan banyaknya pemda yang mengeluh bahwa mereka belum menerima kucuran dana DAU dan dana bagi hasil padahal otonomi sudah berjalan lebih dari empat bulan! Tak heran bila banyak daerah-daerah yang kini secara ngawur menerbitkan perda-perda baru untuk memungut pajak hanya dengan alasan untuk mengejar PAD. Pertikaian antar daerah -seperti saling berebut mengkapling laut misalnya- juga makin sering terdengar. Belum lagi masalah pinjaman asing yang kian santer ingin dilakukan oleh sejumlah daerah.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Hal ini sebenarnya adalah wajar karena berdasarkan skema UU No.25/1999, daerah akan mendapat perimbangan keuangan yang lebih adil. Dari sinilah peluang untuk memajukan perekonomian daerah terbuka lebar. Tak kurang Dana Perimbangan sejumlah Rp 81,6 triliun akan mengalir ke daerah pada tahun 2001 ini. Angka yang sangat tidak kecil. Namun euforia bisnis di daerah ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak diikuti oleh kehati-hatian. Sebagaimana telah banyak diungkap berbagai pihak, pelaksanaan otonomi ini masih penuh dengan carut marut, dan bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi sumber instabilitas baru.
Masalah pertama jelas adalah masalah KKN. Dengan kualitas sistem dan SDM yang seperti sekarang, amat sangatlah mungkin KKN malah akan tambah merajalela. Bila KKN tidak berhasil ditekan, implikasinya jelas dana pembangunan akan berkurang dan akan banyak lahir kebijakan ngawur yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah-pun akan jalan di tempat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prediksi akan semakin memburuknya pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Banyak pemda melakukan alokasi minimal pada pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat dan sebaliknya melakukan alokasi berlebihan pada hal-hal yang tidak dibutuhkan seperti pembangunan gedung-gedung pemda. Stabilitas daerah-pun menjadi rawan.
Masalah pelik berikut adalah pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah, termasuk di dalamnya adalah pelimpahan PNS yang akan menjadi beban daerah selanjutnya. Dan ini menjadi masalah besar mengingat otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 adalah lebih berbasis di daerah tingkat II -yang umumnya belum siap dengan otonomi- daripada di tingkat propinsi. Untuk masalah realokasi personel, aset, dan dokumen dari pusat ke daerah, Tim Keppres 157 telah mengidentifikasi unit kerja pemerintah yang harus di transfer ke daerah meliputi 239 kantor dekonsentrasi di tingkat propinsi, 3.933 kantor dekonsentrasi di tingkat distrik/kabupaten, dan 16.180 unit implementasi teknis. Tanpa keraguan kita bisa menyatakan bahwa transfer ini akan banyak menimbulkan masalah.
Dari sudut keuangan daerah, masalah pelimpahan ini sama artinya bertambahnya beban daerah untuk membiayai kegiatan rutinnya sehari-hari. Padahal tanpa tambahan tugas saja banyak daerah yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Dari analisa data tahun 1998, dari 289 kabupaten/kota, yang mempunyai PAD (Pendapatan Asli Daerah) relatif besar untuk membiayai pengeluaran rutinnya hanya ada 6 daerah saja yaitu Kodya Semarang, Kodya Denpasar, Kab. Bogor, Kodya Bandung, Kodya Surabaya, dan Kab. Badung. Artinya adalah, dana perimbangan yang kini mengalir ke daerah tidak berarti seluruhnya akan menjadi dana pembangunan. Bahkan sangat mungkin dana tersebut akan habis hanya untuk membiayai kegiatan rutin saja, seperti belanja pegawai misalnya.
Bila demikian yang terjadi, geliat ekonomi daerah dipastikan tidak akan sebesar yang selama ini kita bayangkan. Bahkan bisa jadi akan banyak pemda yang bangkrut nantinya. Tanda-tanda kebangkrutan ini mulai terlihat dengan banyaknya pemda yang mengeluh bahwa mereka belum menerima kucuran dana DAU dan dana bagi hasil padahal otonomi sudah berjalan lebih dari empat bulan! Tak heran bila banyak daerah-daerah yang kini secara ngawur menerbitkan perda-perda baru untuk memungut pajak hanya dengan alasan untuk mengejar PAD. Pertikaian antar daerah -seperti saling berebut mengkapling laut misalnya- juga makin sering terdengar. Belum lagi masalah pinjaman asing yang kian santer ingin dilakukan oleh sejumlah daerah.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Label:
daerah,
dana perimbangan,
desa,
ekonomi,
euforia bisnis,
instabilitas,
kkn,
manajemen,
otonomi,
otonomi daerah,
pelimpahan wewenang,
perimbangan keuangan,
pertumbuhan ekonomi,
pusat,
yusuf wibisono
Langganan:
Postingan (Atom)