Lahirnya UU No.22 dan No.25 tahun1999 menandai dimulainya era baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia yaitu otonomi daerah yang resmi dilaksanakan sejak 1 Januari 2001 yang lalu. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah ini, salah satu bidang yang kini terlihat menjadi begitu menarik dibicarakan adalah bisnis di daerah.
Hal ini sebenarnya adalah wajar karena berdasarkan skema UU No.25/1999, daerah akan mendapat perimbangan keuangan yang lebih adil. Dari sinilah peluang untuk memajukan perekonomian daerah terbuka lebar. Tak kurang Dana Perimbangan sejumlah Rp 81,6 triliun akan mengalir ke daerah pada tahun 2001 ini. Angka yang sangat tidak kecil. Namun euforia bisnis di daerah ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak diikuti oleh kehati-hatian. Sebagaimana telah banyak diungkap berbagai pihak, pelaksanaan otonomi ini masih penuh dengan carut marut, dan bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi sumber instabilitas baru.
Masalah pertama jelas adalah masalah KKN. Dengan kualitas sistem dan SDM yang seperti sekarang, amat sangatlah mungkin KKN malah akan tambah merajalela. Bila KKN tidak berhasil ditekan, implikasinya jelas dana pembangunan akan berkurang dan akan banyak lahir kebijakan ngawur yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi daerah-pun akan jalan di tempat. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prediksi akan semakin memburuknya pelayanan publik kepada masyarakat daerah. Banyak pemda melakukan alokasi minimal pada pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat dan sebaliknya melakukan alokasi berlebihan pada hal-hal yang tidak dibutuhkan seperti pembangunan gedung-gedung pemda. Stabilitas daerah-pun menjadi rawan.
Masalah pelik berikut adalah pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah, termasuk di dalamnya adalah pelimpahan PNS yang akan menjadi beban daerah selanjutnya. Dan ini menjadi masalah besar mengingat otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 adalah lebih berbasis di daerah tingkat II -yang umumnya belum siap dengan otonomi- daripada di tingkat propinsi. Untuk masalah realokasi personel, aset, dan dokumen dari pusat ke daerah, Tim Keppres 157 telah mengidentifikasi unit kerja pemerintah yang harus di transfer ke daerah meliputi 239 kantor dekonsentrasi di tingkat propinsi, 3.933 kantor dekonsentrasi di tingkat distrik/kabupaten, dan 16.180 unit implementasi teknis. Tanpa keraguan kita bisa menyatakan bahwa transfer ini akan banyak menimbulkan masalah.
Dari sudut keuangan daerah, masalah pelimpahan ini sama artinya bertambahnya beban daerah untuk membiayai kegiatan rutinnya sehari-hari. Padahal tanpa tambahan tugas saja banyak daerah yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Dari analisa data tahun 1998, dari 289 kabupaten/kota, yang mempunyai PAD (Pendapatan Asli Daerah) relatif besar untuk membiayai pengeluaran rutinnya hanya ada 6 daerah saja yaitu Kodya Semarang, Kodya Denpasar, Kab. Bogor, Kodya Bandung, Kodya Surabaya, dan Kab. Badung. Artinya adalah, dana perimbangan yang kini mengalir ke daerah tidak berarti seluruhnya akan menjadi dana pembangunan. Bahkan sangat mungkin dana tersebut akan habis hanya untuk membiayai kegiatan rutin saja, seperti belanja pegawai misalnya.
Bila demikian yang terjadi, geliat ekonomi daerah dipastikan tidak akan sebesar yang selama ini kita bayangkan. Bahkan bisa jadi akan banyak pemda yang bangkrut nantinya. Tanda-tanda kebangkrutan ini mulai terlihat dengan banyaknya pemda yang mengeluh bahwa mereka belum menerima kucuran dana DAU dan dana bagi hasil padahal otonomi sudah berjalan lebih dari empat bulan! Tak heran bila banyak daerah-daerah yang kini secara ngawur menerbitkan perda-perda baru untuk memungut pajak hanya dengan alasan untuk mengejar PAD. Pertikaian antar daerah -seperti saling berebut mengkapling laut misalnya- juga makin sering terdengar. Belum lagi masalah pinjaman asing yang kian santer ingin dilakukan oleh sejumlah daerah.
(bersambung)
Oleh: Yusuf Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar