Pada 3-5 Agustus 2005, Indonesia menjadi tuan rumah Regional Ministerial Meeting on Millenium Development Goals (MDGs) untuk kawasan Asia-Pasifik. Tujuan pertemuan ini adalah untuk merumuskan strategi-strategi nasional dalam mencapai delapan tujuan MDGs pada 2015 di kawasan Asia Pasifik. Kedelapan tujuan MDGs itu adalah menghapus kemiskinan dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita; mengurangi kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi AIDS, malaria dan penyakit lain; memastikan kelangsungan lingkungan; dan mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.
Bagi Indonesia, momentum ini menjadi penting sekaligus sebuah ironi. Karena setelah 60 tahun merdeka, kemiskinan tidak pernah berakhir. Program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, namun kemiskinan tetap terjadi dalam skala yang luas, bahkan dengan derajat yang lebih tinggi. Belum lama kita diguncang oleh wabah polio, kini kita dikejutkan oleh wabah busung lapar. Esok, entah cerita kemiskinan apalagi yang akan terkuak.
Kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan di Indonesia kini tersebar luas. Di tahun 2004, BPS memerkirakan jumlah orang miskin 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari total penduduk. Namun angka ini sangat konservatif. Bank Dunia memerkirakan angka kemiskinan hanya 7,4 persen dengan garis kemiskinan satu dolar AS sehari. Namun, jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi dua dolar AS sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4 persen atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini kurang lebih sama dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.
Lebih jauh lagi, kemiskinan tidak hanya berwajah tunggal, namun juga multidimensi. Indonesia memiliki catatan buruk dalam penyediaan berbagai fasilitas kebutuhan dasar. Indikator-indikator pembangunan sosial lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Angka kematian ibu di Indonesia dua kali lebih tinggi dari Filipina dan lima kali lebih tinggi dari Vietnam. Hampir setengah penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Semua itu mengisyaratkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan gagal.
Disisi lain, Indonesia menghadapi perubahan dan tantangan ke depan yang semakin berat. Di dalam negeri, terjadi arus demokratisasi dan otonomi yang deras. Sedangkan dari luar negeri, arus globalisasi dan perdagangan bebas semakin tidak tertahankan. Tanpa perencanaan yang baik, Indonesia tidak akan mampu mengambil peluang dan mengantisipasi ancaman bagi pengentasan kemiskinan.
Islam dan kemiskinan
Di negeri ini, Islam sering mendapat citra negatif dari kemiskinan. Islam sering dilekatkan dengan kondisi kemiskinan umat-nya, bahkan sering dituding sebagai penyebab kemiskinan. Padahal Islam sebagai sebuah risalah paripurna dan ideologi hidup sangat memerhatikan masalah kemiskinan. Bahkan kemiskinan dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keimanan (QS 2: 268). Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15).
Dalam Islam, kepala keluarga memiliki memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya. Jika tidak mampu, maka kewajiban tersebut jatuh ke kerabat dekat. Jika tidak mampu juga, kewajiban tersebut jatuh ke negara. Dengan demikian Islam mendorong negara mengentaskan kemiskinan dengan cara memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (basic rights approach). Pendekatan inilah yang kini baru mulai diadopsi oleh Indonesia melalui Strategi Nasional Pengentasan Kemiskinan (SNPK). Islam juga memiliki berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program pengentasan kemiskinan. Pertama, Islam melarang riba dan mendorong kegiatan sektor riil untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pro-poor growth).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar