Tampilkan postingan dengan label mendidik pasar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mendidik pasar. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 April 2010

MENDIDIK PASAR - Habis

Heboh maraknya peredaran buku-buku Anand Krishna beberapa waktu lalu, juga sebenarnya bisa ditelusuri sebagai upaya untuk mendidik pasar -yang mayoritas muslim ini- agar bisa menerima persepsi bahwa semua agama adalah sama, sehingga pencampur adukan ajaran berbagai agama adalah sah-sah saja. Maraknya peredaran buku-buku berbau marxis juga bisa ditengarai sebagai usaha mendidik pasar, mengingat sebenarnya buku-buku seperti ini terbatas sekali permintaannya, sehingga semestinya peredarannya-pun terbatas pula.

Dengan menggunakan perspektif yang sama, alih-alih mengeluh, sebenarnya para wirausahawan muslim juga bisa melakukan strategi yang sama untuk merebut pasar. Sebagai negeri muslim terbesar di dunia dengan 210 juta penduduk, Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan untuk produk-produk yang sesuai syariat ataupun produk yang mendukung kehidupan beragama seseorang. Apalagi saat sekarang ini dimana kesadaran ber-Islam mulai marak, jelas ini adalah waktu yang tepat untuk masuk dan mulai mendidik pasar agar beralih ke produk-produk sesuai syariat.

Beberapa pengusaha muslim dengan cerdas telah menangkap peluang ini dan mulai mendidik pasar. Shafira di bisnis busana muslim, Wardah di bisnis kosmetik, Sabili di bisnis media cetak, adalah segelintir contoh mereka yang telah membidik dan mulai mendidik pasar muslim bahwa mereka "butuh" akan produk-produk sesuai syariat. Walau dengan anggaran iklan yang minim dan media komunikasi yang terbatas, ternyata tanggapan pasar cukup bagus. Produk-produk diatas cukup mampu bersaing dengan produk-produk lama. Ini adalah bukti bahwa sebenarnya mendidik pasar Indonesia agar merasa "butuh" dengan produk-produk sesuai syariah tidaklah sesulit seperti yang dibayangkan sebelumnya.

Apabila seorang produsen mampu mendidik pasar secara sukses di satu kategori bisnis saja, ini telah akan menjadi pasar yang sangat besar. Ambil contoh, bila misalnya pasar telah berhasil "dididik" agar mereka hanya mau mengkonsumsi makanan yang halal saja, saya tak bisa membayangkan betapa banyak dan besar peluang yang bisa diambil oleh para pengusaha muslim dari bisnis makanan halal ini saja.

Namun harus diakui, mendidik pasar juga tidaklah mudah. Walaupun telah mendapat bantuan yang sangat besar dari para dai dan juru dakwah dalam membangkitkan kesadaran ber-Islam konsumen Indonesia (dan untuk ini pengusaha muslim harusnya berterima kasih dengan wujud kongkrit mendukung semua usaha para dai dalam menegakkan dakwah), namun para pengusaha muslim tetap harus berusaha dan berjuang keras agar produknya laku di pasaran. Kenapa mendidik pasar tidak mudah? Karena mendidik pasar berarti adalah bahwa kita ingin membuat konsumen belajar melakukan pola konsumsi yang benar-benar baru secara keseluruhan dalam rangka menggunakan produk kita itu. Bila kita ingin mendidik pasar agar hanya mengkonsumsi makanan halal, maka kita harus membuat konsumen terlebih dahulu belajar pola makan yang Islami, mulai dari sumber asal bahan makanan, proses pengolahannya, cara memasak, sampai etika penyajian dan menyantap hidangan. Untuk membuat konsumen sampai pada pemahaman dan penghayatan seperti ini, tentu tidaklah mudah. Ketidakmauan -atau keacuhan- konsumen untuk mempelajari perilaku baru, akan menghambat penerimaan dan penjualan suatu produk baru.

Maka, usaha pemasaran untuk inovasi-inovasi insidental seperti ini, yang dibutuhkan tidak hanya membuat konsumen kenal dengan produk kita (consumer awareness) saja, tetapi juga mendidik konsumen tentang keuntungan dan ketepat-gunaan produk inovatif kita tersebut. Dengan mengetahui manfaat produk, konsumen akan maju selangkah dari hanya mengenal menjadi punya persepsi bahwa produk kita memiliki kualitas yang baik (perceived quality), sampai akhirnya menjadi konsumen yang loyal.

Karena itulah maka, penjualan secara personal (personal selling) dan iklan-iklan yang kreatif sangat dibutuhkan untuk mencapai tingkat pendidikan konsumen yang seperti ini. Sebuah usaha pemasaran yang memang mahal dan butuh waktu yang tidak singkat.


Oleh: Yusuf Wibisono

MENDIDIK PASAR

Buat anda yang angkatan '70an, mungkin masih ingat ketika Aqua pertama kali di lempar ke pasar. Dan tentunya anda ingat pula betapa negatif-nya respon pasar saat itu ketika pionir air minum dalam kemasan ini diperkenalkan ke publik. Gila apa jualan air putih? Mahal lagi? Mana ada ceritanya air putih lebih mahal dari bensin? Padahal dimana-mana kita bisa mendapatkan air putih dengan mudah dan murah, bahkan gratisan. Lalu, siapa yang mau beli ini barang?

Tapi itulah yang terjadi. Aqua dijual oleh sang produsen ke sebuah masyarakat dimana air minum (air putih) adalah barang bebas (gratisan) dan harga barang-barang kebutuhan hidup lainnya adalah murah karena subsidi (seperti beras dan BBM). Namun sang produsen tetap yakin dengan konsep bisnis-nya bahwa masyarakat butuh akan air minum yang higinis dan dikemas secara praktis sehingga mudah dibawa-bawa dan digunakan kapanpun dan dimanapun. Hanya dengan modal keyakinan akan konsep bisnis itulah yang membuat PT Golden Aqua Missisipi nekat untuk terus menekuni bisnis air minum dalam kemasan ini. Secara perlahan, lewat iklan dan komunikasi yang massif, akhirnya pemahaman konsumen terhadap produk ini terbentuk. Dan kini? Mungkin tak seorangpun penduduk negeri ini yang tidak kenal dengan Aqua. Dan pada saat yang sama puluhan merek lainnya berlomba masuk ke pasar air minum kemasan ini, mencoba bersaing dengan Aqua untuk merebut pasar yang kini menjadi sangat gemuk.

Cerita yang sama kita temui pula pada kasus Teh dalam kemasan botol dengan pionirnya Sosro, Kopi dalam bentuk permen dengan pionirnya Kopiko, Larutan penyegar -yang menurut saya enggak ada bedanya sama air putih- dengan pionirnya Kaki Tiga, dan contoh terkini tentunya adalah Nasi goreng cepat saji dengan pionirnya Tara nasiku. Mereka semua adalah produk-produk yang sebenarnya kita "enggak butuh". Tetapi karena sekian lama kita "dididik" bahwa kita "butuh" produk tersebut, akhirnya kitapun mengatakan hal yang sama. Ringkasnya, konsumen bisa disetir dan diarahkan agar menuruti kemauan produsen.

Fakta ini mematahkan argumen bahwa produk yang dibeli/dikonsumsi oleh konsumen adalah selalu barang yang mereka inginkan atau butuhkan. Konsumen bisa dididik bahwa mereka sebenarnya butuh akan suatu produk tertentu. Dan fenomena "mendidik pasar" ini juga sebenarnya bisa menjawab seluruh pertanyaan dan kegundahan kita tentang membanjirnya berbagai produk asing dan produk budaya global di tanah air kita ini.

Laris manisnya berbagai produk-produk kosmetik dan perawatan kecantikan dari pemutih gigi sampai pemutih kulit, tidak lepas dari rajinnya para produsen "mendidik" remaja putri kita bahwa kecantikan fisik adalah yang terpenting, tidak peduli dengan kecantikan hati ataupun kecerdasan intelektual. Betapa banyak kita saksikan para korban "salah didik" ini begitu bangga dan royal ketika membeli produk-produk yang tidak murah ini di berbagai pusat perbelanjaan. Jelas "pendidikan" semacam ini akan memperbodoh dan menghancurkan akhlak generasi muda kita di masa mendatang.

Dan repotnya adalah, strategi ini ternyata juga dilakukan (dan nampaknya dengan penuh kesengajaan) terhadap produk-produk budaya dan ideologis di negeri Muslim terbesar di dunia ini, bahkan secara besar-besaran. Mewabahnya musik dan lagu Barat dari apartemen mewah hingga ke kampung-kampung, jelas tidak mungkin terjadi tanpa “didikan” MTV yang berkolaborasi dengan Global TV, yang begitu gencar 24 jam non-stop setiap harinya menyiarkan klip-klip musik. Begitupun halnya dengan tingginya minat remaja kita untuk masuk ke bisnis entertainment ini, adalah hasil "didikan" selama puluhan tahun bahwa dunia showbiz adalah dunia paling tepat untuk cepat menjadi kaya, terkenal, dan digandrungi banyak orang. Bahkan wabah ini juga sudah menular ke anak-anak yang (seharusnya) masih suci, yang ironisnya justru tertular virus dari orang tuanya sendiri yang merupakan para korban "salah didik".

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono