Tampilkan postingan dengan label globalisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label globalisasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Maret 2010

Globalisasi: Dimana Kita Berdiri? - Habis

High-skilled labors. Dengan jaringan internet di hampir setiap negara, para pekerja berpendidikan tinggi akan meningkat di seluruh dunia. Di tahun 1998, lebih dari 25.000 pekerja profesional Afrika bekerja di USA dan negara-negara Eropa. USA memberikan visa khusus bagi imigran profesional untuk bekerja tetap di industri high-tech. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah Jerman memberi kemudahan dan fasilitas khusus bagi 200.000 ahli komputer non-Jerman untuk bekerja di Jerman, termasuk para ahli komputer dari negara berkembang dan diantaranya adalah dari Indonesia (Kompas, 6/8/2000). Fenomena pelarian intelektual (brain drain) pekerja trampil ke negara kaya ini diperkirakan akan terus berlanjut selama perbedaan upah dan standar hidup yang lebar antara negara kaya dan miskin tetap eksis. Ironisnya, pada saat yang sama jutaan pekerja tidak terdidik mendapat hambatan yang sangat keras untuk berpindah lintas negara. Mereka tetap terpisah dalam batas-batas negara akibat restriksi yang ketat dari negara-negara kaya terhadap pekerja tidak terdidik.

Dimana Kita Berdiri?

Dalam perspektif kompetisi global, dimanakah kini kita berdiri? Dari paparan singkat diatas, kita dengan mudah menarik kesimpulan bahwa bangsa yang menang di masa depan adalah bangsa yang terdidik, cerdas, dan kreatif, yang merupakan hasil dari pembangunan manusia yang berkualitas. Tentunya semua itu berjalan dengan komitmen, usaha, dukungan politik dan anggaran pembangunan yang tidak kecil. Sekarang mari kita lihat kondisi negeri ini.

Dalam laporannya -Human Development Report 2000- UNDP menempatkan pembangunan manusia di Indonesia di peringkat 109, turun dari peringkat tahun sebelumnya 105. Peringkat ini sangat jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand (67), Malaysia (56), apalagi Singapura (22). Dalam kenyataannya, deretan data indikator sosial dan ekonomi benar-benar membuat kita cemas dengan masa depan generasi penerus bangsa ini. 70 juta rakyat kini hidup dalam kemiskinan, 40 juta penduduk harus kehilangan pekerjaan, tingkat putus sekolah semakin tinggi, 3 juta balita kekurangan gizi, dan 2 juta orang hingga kini hidup tak menentu di pengungsian, belum lagi ditambah dengan hancurnya berbagai fasilitas fisik dan tatanan sosial oleh bencana alam dan kerusuhan yang terjadi di seluruh negeri, semuanya itu seharusnya membuat kita prihatin. Dan yang paling menderita dari itu semua jelas adalah kaum muslimin Indonesia yang merupakan mayoritas.

Epilog

Mungkin benar bahwa globalisasi telah menciptakan kampung dunia (global village), tetapi tidak semua orang bisa menjadi penduduknya. Mungkin benar bahwa globalisasi telah tumbuh dengan kecepatan dan hasil yang mengagumkan, tetapi prosesnya adalah tidak seimbang dan tidak adil, sehingga globalisasi juga telah menciptakan fragmentasi dalam proses produksi, pasar tenaga kerja, lembaga politik dan masyarakat. Maka, selain memiliki aspek positif, inovatif, dan dinamis, globalisasi juga memiliki aspek negatif, disruptif, dan marginalis. Hal ini terjadi tidak lain karena globalisasi digerakkan oleh kekuatan komersial pasar yang hanya mempromosikan efisiensi, mengejar pertumbuhan dan mendapatkan laba. Tidak heran bila globalisasi cenderung lalai dari tujuan pemerataan, penghapusan kemiskinan, dan pembangunan manusia.

Namun, globalisasi adalah keniscayaan. Ia adalah fenomena yang tidak bisa dihindari. Karena itu, langkah terpenting kini adalah bagaimana sesegera mungkin kita menyiapkan apa yang harus dan masih bisa untuk disiapkan untuk menghadapi globalisasi. Mampukah pemerintahah saat ini menjawabnya? Saya pesimis.
Maka kini saatnya bagi kita kaum muslim untuk mempersiapkan diri kita sendiri agar tidak jatuh kembali dalam penderitaan dan kehinaan. Sesungguhnya Allah lebih mencintai mu'min yang kuat daripada mu'min yang lemah.


Oleh: Yusuf Wibisono

Globalisasi: Dimana Kita Berdiri?

Globalisasi telah merubah wajah dunia secara amat radikal. Ia membuat perbedaan waktu, ruang, dan batas antar negara menjadi tidak berarti lagi. Dunia kini berubah dan berkembang dalam skala dan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan oleh kita sebelumnya. Revolusi 3T (technology, transportation, and telecommunication) benar-benar membuat dunia kini bergerak maju menuju ke arah yang sulit untuk diprediksi oleh siapapun. Dalam dunia tanpa batas (borderless world) seperti inilah, tercipta jutaan peluang dan kesempatan untuk meningkatkan standar hidup manusia akibat efisiensi yang semakin tinggi sebagai hasil dari interaksi antar manusia yang semakin dalam, intensif, dan tidak dibatasi waktu. Namun, apakah setiap orang dapat menikmati hal tersebut? Jawabnya adalah, Tidak! Ini tergantung dari siapa anda.

Sang Pemenang

Berdasarkan laporan UNDP, setidaknya kita dapat mendaftar lima kelompok yang menikmati globalisasi paling optimal, yaitu mereka yang berasal dari kalangan kaya dan terdidik yang umumnya datang dari negara-negara maju.

Financial dealers. Komunikasi seketika, perpindahan kapital yang bebas lintas negara, dan perbaruan data-data yang kontinu dari pasar finansial London hingga Jakarta, dari Tokyo hingga ke New York, telah meningkatkan aktivitas pasar finansial dunia secara signifikan. Transaksi harian dalam pasar valas dunia di tahun 1998 diperkirakan mencapai US$ 1.5 triliun, meningkat jauh dari sebelumnya di tahun 1970 yang hanya sekitar US$ 10-20 miliar. Nilai portofolio dan surat berharga jangka pendek lainnya juga tumbuh secara substansial mencapai US$2 triliun, meningkat hampir tiga kali lipat dari nilai di tahun 1980-an. Dengan globalisasi, pelaku-pelaku dalam pasar finansial mendapat tambahan keuntungan yang sangat besar dan mereka memanfaatkannya secara optimal. Kini telah tumbuh pesat pasar global finansial, bank, dan asuransi.

Multinational corporation. Perusahaan multinasional sangat diuntungkan dengan adanya pasar global dan produksi yang semakin terintegrasi. Di tahun 1997, merger dan akuisisi lintas negara tercatat sebesar 59% dari total foreign direct invesment dunia yang mencapai US$ 400 miliar. Dengan mengintegrasikan produksi dan pemasaran, mereka menjadi semakin efisien sehingga mampu meluaskan penguasaan pangsa pasar dunia secara agresif dan karenanya secara signifikan menaikkan keuntungan mereka.

Non-Government Organizations (NGOs). Dengan jaringan on-line seluruh dunia, NGOs (LSM-LSM) dapat melakukan kampanye dan menyebarkan pesan lebih cepat dan efektif. Dengan jaringan yang mudah dan murah diakses, orang akan dapat memberikan dukungannya melewati batas-batas negara, dari jaringan organisasi formal hingga yang informal. LSM kini tumbuh menjadi kekuatan yang tangguh dan berpengaruh. Ia mampu secara efektif memberi tekanan kepada pihak terkait untuk melindungi kemanusiaan dan lingkungan hidup. Studi terkini melaporkan dari LSM-LSM di 22 negara saja tercatat memiliki aset US$1.1 triliun dan mempekerjakan tidak kurang dari 19 juta orang !

Entertainer. Interaksi antar manusia dan budayanya masing-masing, telah berkembang dan berakar dalam cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Radio, televisi, dan kini internet, telah berada dimana-dimana yang membuat industri entertainment berkembang sangat pesat. Negara semaju Amerika Serikat, ekspor terbesarnya ternyata bukanlah dari industri pesawat, otomotif, ataupun komputer, -tetapi dari industri entertainment ! Yaitu dari film-film dan program-program TV. Di tahun 1997, film-film hollywood menghasilkan US$ 30 miliar dari seluruh dunia, dan di tahun 1998, dari satu film saja, Titanic, mampu menghasilkan US$ 1,8 miliar. Fenomena global culture -yang ditandai arus budaya yang tidak seimbang dari negara kaya (Barat) ke negara miskin (termasuk negara-negara muslim)- ini, tak pelak telah menjadi pendorong utama pertumbuhan industri entertainment dunia, yang lagi-lagi didominasi negara kaya.

(bersambung)


Oleh: Yusuf Wibisono